TEMPO Interaktif, Jakarta - Setiap menjelang Ramadan, kegiatan astronom di peneropongan bintang Bosscha, Lembang, Jawa Barat, bertambah. Mereka harus mengamati kemunculan bulan sebagai penanda awal puasa di Indonesia.
Selain di Bosscha, pengamatan serentak dilakukan di delapan titik berbeda, seperti di Ternate, Kupang, Makassar, Gresik, Semarang, Pelabuhan Ratu, dan Aceh. Data dari sembilan lokasi itu akan dikirimkan melalui Internet ke Departemen Agama sebagai bahan pertimbangan sidang isbat dalam menentukan awal puasa. "Secara online, langsung di-streaming-kan di Internet," ujar Kepala Observatorium Bosscha Taufik Hidayat kemarin.
Selama ini umat muslim di Indonesia masih memiliki perbedaan untuk menetapkan awal Ramadan. Sebagian berpegang pada perhitungan (hisab) kalender, tapi ada yang menunggu terbitnya anak bulan (hilal), bulan sabit terkecil yang muncul beberapa saat setelah matahari terbenam.
Ada tiga perbedaan dalam menentukan hilal. Aliran pertama merukyat (melihat) hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau menurut perhitungan (hisab) hilal masih di bawah ufuk, rukyat tetap dilakukan dan menggenapkan (istikmal) bulan menjadi 30 hari, namun hisab hanya digunakan sebagai alat bantu.
Aliran kedua menggunakan rukyat dan hisab dalam porsi yang sama. Hilal dianggap terlihat apabila ketinggian bulan di atas horizon, ketika matahari terbenam, tidak kurang dari 2 derajat, sudut antara bulan dan matahari tidak kurang dari 3 derajat, serta ketika terbenam, umur bulan minimal delapan jam selepas ijtimak (konjugasi). Penetapan awal bulan baru menurut aliran ketiga adalah hilal terjadi setelah ijtimak, dan saat itu posisi bulan masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam.
ANWAR SISWADI
