MLH Rachmat Witoelar, bersama sejumlah aktivis menandatangani spanduk himbauan lingkugnan hidup di kawasan Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (28/12). ANTARA/Ujang Zaelani
TEMPO.CO, Jakarta - Potensi energi ramah lingkungan yang besar, tidak mendorong pemerintah secara serius menggunakannya. “Kalau pakai bahasa anak muda, pemerintah lemot, tidak cepat,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar dalam diskusi di kantornya di Jakarta, Rabu (16/10).
Rachmat yang mantan Menteri Lingkungan Hidup ini menunjuk tenaga panas bumi atau geotermal. Sejak 30 tahun lalu sudah diketahui potensi dan wilayah yang memiliki energi itu. Namun hingga saat ini tak ada upaya sungguh-sungguh memanfaatkannya secara maksimal sebagai pembangkit listrik. Padahal, kata Rachmat, potensi geotermal berlimpah dan tidak mengemisi gas-gas rumah kaca.
Ketidakseriusan juga terlihat pada penggunaan gas untuk bahan bakar kendaraan. Termasuk pemakaian bahan bakar nabati dari kelapa sawit atau yang lainnya. “Too little, too late,” kata Rachmat yang menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.
Hingga saat ini, belum ada pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang baru di kota-kota besar. Begitu juga rencana pembuatan dan impor kit konverter tidak terdengar lagi ujung pangkalnya.
Baru bulan lalu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mewajibkan peningkatan volume pencampuran biodiesel pada minyak solar menjadi 10 persen pada September 2013. Sebelumnya, kewajiban tingkat pencampuran masih 5 persen pada 2014.
Kebijakan ini keluar karena terpaksa, setelah kenaikan nilai dolar Amerika. Tingginya impor minyak dan gas bumi membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerikat melemah dan menggerus cadangan devisa.