Seorang pria menggunakan potongan kaca untuk melihat Gerhana Matahari Total di Belgrade, Serbia, 20 Maret 2015. AP Photo
TEMPO.CO, Bandung - Menyaksikan gerhana matahari total maupun parsial dengan cara salah berisiko menyebabkan kerusakan mata permanen. Tim dokter Unit Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, meminta warga untuk tidak mengamati gerhana matahari yang akan melintasi wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016, dengan ember atau baskom berisi air. Penggunaan klise film, klise rontgen (sinar X), dan botol diisi air berperwarna, dinyatakan tidak aman untuk mata.
Direktur Medik RS Mata Cicendo yang mengepalai tim tersebut, Iwan Sovani, cara-cara mengamati gerhana matahari tersebut tidak aman untuk mata. Pada kasus kerusakan berat, tidak ada terapi khusus untuk memulihkan kondisi yang rusak akibat kesalahan cara pengamatan gerhana. “Obat-obatan kortikosteroid oral atau teks kadang digunakan untuk fase akut, tapi efek sampingnya cukup banyak,” ujar Iwan.
Alat yang aman dipakai yakni kacamata khusus gerhana yang dilengkapi filter ultraviolet dan infra merah. Filter serupa biasa dipakai untuk teleskop atau teropong. Bisa juga pakai kacamata tukang las dengan tingkat kegelapan nomor 14. “Meskipun cukup aman, semua perangkat tersebut sebaiknya tidak digunakan sepanjang lebih dari dua menit,” kata Iwan.
Tim dokter RS Mata Cicendo juga memberi peringatan risiko lain saat gerhana matahari total. Ketika totalitas terjadi dan menatap langsung ke matahari tidak terasa silau, saat itu ukuran pupil mata menjadi lebih lebar. “Sehingga semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam mata, akibatnya semakin besa pula potensi kerusakan di retina mata,” ujarnya.
Iwan Sovani menggambarkan bahayanya menatap matahari selama proses gerhana berlangsung, seperti melakukan percobaan membuat titik api dari sinar matahari dengan kaca pembesar. “Seperti itulah efek sinar matahari dapat ‘membakar’ retina,” kata dia.