Efek cincin saat berakhirnya gerhana matahari total do Madras, Oregon, 21 Agustus 2017. Courtesy Aubrey Gemignani/NASA/Handout via REUTERS
TEMPO.CO, Jakarta - Gerhana matahari total di Amerika Serikat, 21 Agustus 2017, yang terjadi setelah 99 tahun mengundang banyak pertanyaan. Terutama soal bagaimana cara ilmuwan menghitung siklus gerhana.
Perhitungan gerhana sudah ada sejak zaman Babilonia (1696-1654 sebelum Masehi). Tanpa komputer dan rumus matematika, ribuan tahun sebelum Masehi, orang Babilonia sudah mampu meramalkan gerhana matahari atau gerhana bulan. Pengamatan pergerakan bintang, bulan, dan matahari selama berabad-abad mengajarkan mereka adanya suatu pola keberaturan dalam alam semesta.
Salah satu penemuan orang Babilonia itu ialah serangkaian jenis gerhana matahari--total, sebagian, atau cincin--dan gerhana bulan cenderung berulang setelah 18 tahun (surya) 11 per tiga hari (atau 10 hari jika terdapat 5 tahun kabisat). Daur ini dinamakan "saros", kata yang berasal dari bahasa Babilonia, sharu—daur yang setelah diuji secara matematis ternyata sangat presisi.
Dalam siklus saros, ada tiga unsur utama yang diperhitungkan: kurun waktu peredaran bulan hingga kembali pada fase semula, bulan sinodis atau 29,9 hari. Kemudian kurun waktu 27,2 hari, yang disebut bulan nodis atau bulan drakonis, yaitu saat bulan kembali melampaui titik simpul yang sama dengan bidang ekliptika.
Unsur ketiga ialah bulan anomalistik, yang disebabkan jarak antara bulan dan bumi berubah-ubah, ditambah gerakan sumbu bulan, seperti gasing. Kurun waktu ini berlangsung selama 27,5 hari. Nah, kelipatan persekutuan terkecil ketiga kurun waktu tadi ialah 18 tahun 11 per tiga hari. Oleh astronom dan matematikawan Jerman F.W Bessel kemudian dirumuskan dalam seperangkat rumus.
Unsur lain yang harus diperhitungkan ialah posisi bumi relatif terhadap matahari. Karena garis edar bumi sekitar matahari juga merupakan elips, ada kalanya ia dekat dan ada kalanya ia Jauh. Ini terutama menentukan terjadinya gerhana total, cincin, atau sebagian.