TEMPO Interaktif, Bogor - Kelelawar di Kebun Raya Bogor dan berbagai daerah di Indonesia terancam punah apabila kerusakan ekosistem dibiarkan tanpa ada pencegahan. Bahkan, populasi kelelawar Kebun Raya Bogor setiap tahunnya dinyatakan terus menurun.
Berkurangnya populasi kelalawar Kebun Raya Bogor karena sering terganggu oleh pengunjung maupun oknum pemandu tur. "Mereka sengaja memperlihatkan keberadaan kelalawar kepada para tamunya,” ungkap Sutarmanto, salah seorang pengamat Kelalawar di Bogor, Senin 6 Juni 2011.
Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI, Siti Nurmalianti Priyono membenarkan kelelawar terancam punah. "Akibat rusaknya habitat asli kelalawar di hutan dan goa, populasinya terus berkurang, bahkan beberapa jenis telah punah," kata Siti.
Siti mengemukakan, dari hasil penelitian di Kebun Raya Bogor terungkap bahwa lebih dari 52 jenis tumbuhan dapat berkembang biak setelah dilakukan proses penyerbukan oleh koloni kelalawar, yang selama ini hidup di Kebun Raya Bogor.
Menurut Siti, terdapat 186 jenis tumbuhan tropis yang berguna sebagai tanaman obat, penghasil kayu, maupun sumber makanan. Kehidupan penyebarannya sangat tergantung peran kelewar jenis megacroptera, yakni jenis kelelawar pemakan buah tropis yang mampu memakan dan menyebarkan biji-biji buah melalui sisa kotoran.
Adapun Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim menjelaskan, keberadaan kelalawar dapat berfungsi sebagai predator alami hama pertanian dan merupakan salah satu pemakan hama utama padi.
Bahkan, menurutnya, sebagaian besar kelelawar merupakan alat pengontrol biologi penyakit malaria dan Arthropods penyebar penyakit ternak. Maka tidak jarang pula, hewan keleawar jenis Megaderma Spasma sering digunakan sebagai pembasmi biologi hama tikus.
“Peran kelalawar begitu penting dalam membantu petani mengandalikan hama tanaman dan ekosistem,” kataLukman Hakim saat menyampaikan paparannya dalam Konfrensi Internasional Kelalawar se-Asia Tenggara di Hotel Royal, Bogor, Senin 6 Juni 2011.
Konferensi Internasional Kelalawar akan berlangsung selama dua hari. Konferensi ini diikuti 80 pakar dan peneliti kelalawar dari berbagai negara, seperti Indonesai, Malaysia, Thailand, Philipina,Brunei, Cina, Vietnam, Jepang, India, Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Belanda
ARIHTA UTAMA S