TEMPO.CO, Bandung - Bentuk Gunung Sadahurip di Garut, Jawa Barat, yang dihebohkan sebagai piramida terpendam, ternyata bersisi lima. Walau dianggap wajar, arah kelima sisinya tak simetris dengan arah mata angin.
Menurut astronom Ma’rufin Sudibyo, kondisi itu tak selazim bangunan piramida yang ada di berbagai penjuru Bumi. Pembangunan piramida di dunia, menurut Ma’rufin, umumnya terkait dengan astronomi. Tujuannya relatif sama, sebagai pusat ritual, juga penentuan musim terkait masa tanam. Secara astronomis, bentuk piramida dirancang cermat sehingga orientasinya menghadap ke titik-titik istimewa tertentu di langit.
“Hal itu berdasarkan pemahaman dinamika langit dan konsep mitologi budaya masyarakat itu,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis, 16 Februari 2012.
Posisi piramida atau bangunan menyerupai piramida seluruh sisinya selalu tepat menghadap ke empat penjuru mata angin, yaitu utara, timur, selatan, dan barat. Pada tiap piramida Mesir, misalnya, sisi utaranya akan selalu berhadapan dengan bintang Thuban atau alpha Draconis, bintang penanda kutub utara langit pada 4.500 tahun silam. Lorong pun dibangun agar cahaya bintang paling terang di langit, Sirius, bisa menyinari ruang Permaisuri.
Selain itu, Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang bentuknya berundak seperti piramida, juga dibuat dengan memperhitungkan arah mata angin. Di antaranya berfungsi sebagai petunjuk posisi matahari yang dikaitkan dengan siklus musim dan masa tanam.
Baca Juga:
“Bangunan itu juga seperti observatorium kuno di masanya,” katanya. Sedangkan pada Gunung Sadahurip, ia melihat hal berbeda. Memakai citra kontur dari Google Map, Ma’rufin mendapati bentuk dasar gunung berupa bidang segilima tak simetris sehingga luas tiap sisinya tak sama.
Pengamatannya mulai kontur elevasi (ketinggian gunung) 1.320 meter dari permukaan laut hingga ke puncak. Bentuk sisi gunung yang tak rata itu juga berpengaruh ke sistem azimut arah mata angin primer yang ditandai 0 atau 360 untuk arah utara, 90 untuk arah timur, 180 di selatan, dan 270 di barat. Sedangkan arah mata angin sekunder berada di antara mata angin primer.
Dari perhitungan Ma’rufin, mulai dari arah utara kemudian memutar searah jarum jam, tiap sisi Gunung Sadahurip ternyata menghadap ke arah 68, 143, 220, 284, dan arah 344. Walaupun sudah membagi azimut 360 dengan angka 5 sesuai jumlah sisi gunung, selisih sudut tiap sisi tak pas 72 derajat, melainkan beragam antara 60-77 derajat.
“Benda langit apa yang dihadapi tiap sisi Gunung Sadahurip menjadi tak jelas,” katanya. Dari kedua fakta berbeda itu, ia menyimpulkan, jika gunung itu buatan manusia yang membangun piramida, pembuatnya berarti tak paham geometri sehingga gagal merancang dasar piramida yang simetris.
Kedua, para pembuatnya tak paham astronomi sehingga piramidanya tak bisa menjadi penanda peristiwa-peristiwa langit yang penting bagi kebudayaan bangsa-bangsa kuno. ”Gunung Sadahurip bukanlah piramida dan juga bukan bangunan menyerupai piramida,” katanya.
ANWAR SISWADI