TEMPO.CO, Bandung -Kepala Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Hendrasto mengatakan ada sejumlah potensi bahaya yang bisa ditimbulkan letusan Gunung Hobalt, gunung api bawah laut di selatan Pulau Lembata, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Jika letusan membesar bisa memicu timbulnya gelombang laut atau tsunami, belum lagi bahaya lontaran material pijar di sekitar lokasi gunung api itu.
Namun, hingga saat ini, potensi bahaya itu tidak terjadi. "Tidak berbahaya karena letusannya berlangsung hanya 2 menit," kata Hendrasto kepada Tempo, Selasa , 20 Agustus 2013.
Dia mengungkapkan, wilayah permukaan laut di atas Gunung Hobalt tempat munculnya lokasi gelembung itu juga berpotensi tempat berkumpulnya gas beracun. "Bisa saja gelembungnya yang naik ke atas membawa gas beracun," kata Hendrasto.
Menurut Hendrasto, peristiwa letusan gunung api bawah laut di Indonesia terhitung langka. Letusan gunung api bawah laut di Indonesia terakhir terjadi tahun 1984, yakni letusan Gunung Hobalt. Badan Geologi mencatat, Gunung Hobalt sempat 7 kali meletus antara tahun 1973 hingga 1984.
Hendrasto mengatakan, di Indonesia hanya ada 5 gunung api bawah laut Tipe A, yakni gunung api yang masih aktif. Selain Gunung Hobalt, gunung api bawah laut lainnya adalah, Gunung Banoawuhu di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara dan Gunung Api Sub-Marine 1922. Angka 1922 menunjukkan tahun gunung itu sempat tercatat meletus. Gunung api bawah laut lain terdapat di perairan Kepulauan Banda yakni Gunung Nieuwerkerk, dan Gunung Emperor of China.
Hingga saat ini Badan Geologi tidak menempatkan alat pengamatan aktivitas gunung api khusus untuk Gunung Hobalt karena kesulitan menempatkan peralatan mengingat posisi gunung itu berada di dalam laut.
AHMAD FIKRI