TEMPO.CO, Bandung - Sejumlah ilmuwan yang tergabung di Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proses Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung sukses menghasilkan katalis yang mengubah minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar jeni solar. Dari katalis yang sama, minyak kelapa juga bisa diolah sebagai avtur, bahan bakar pesawat terbang. "Sudah final formulanya. Sekarang tinggal bangun pabriknya saja,"kata Subagjo, ilmuwan dari kelompok tersebut kepada Tempo di Aula Timur ITB, Senin, 2 Maret 2015.
Minyak solar dari minyak kelapa sawit itu disebut diesel hijau atau biodiesel. Sedangkan minyak kelapa yang menjadi avtur disebut bioavtur. Riset itu, kata Subagjo, dilakukan agar Indonesia punya katalis sendiri. "Sekarang semua katalis hasil impor. Kami bikin satu per satu, kerja sama langsung dengan industri," ujarnya di sela acara hari jadi ke-56 ITB. Katalis merupakan zat senyawa asing yang digunakan untuk melangsungkan reaksi kimia.
Katalis yang diberi nama PDO 120-1,3T itu digunakan untuk proses hydrodeoxygenation minyak nabati menjadi hidrokarbon parafinik. Pengumpannya minyak sawit dan minyak kelapa. Riset yang dirintis pada 2009 itu bekerja sama dengan PT Pertamina dan sudah diuji coba pada skala besar.
Biodiesel hasil katalisasi itu menghasilkan kualitas minyak solar yang lebih bagus daripada solar biasa di stasiun pengisian bahan bakar umum. Bilangan setana (cetane number) yang menunjukkan tingkat kualitas solar, kata Subagjo, berada di angka 80. "Solar biasa hanya 48, Pertadex (Pertamina Dex) hanya 53,"katanya.
Harga biodiesel dan bioavtur, ujar Subagjo, saat ini terhitung mahal. Dari satu kilogram minyak sawit, hanya bisa didapat 0,87 kilogram biodiesel. Begitu pun minyak kelapa untuk bioavtur. Namun, menurut dia, pembuatannya di pabrik dalam negeri sudah mendesak untuk memenuhi kebutuhan pengguna. "Sekarang ada kewajiban untuk terbang ke Eropa harus pakai bioavtur sekian persen. Terus mau beli ke Thailand atau Singapura? Bikin saja di sini," katanya.
Singapura, kata Subagjo, sudah membuat pabrik bahan bakar olahan dari minyak nabati itu dengan teknologi dari Amerika Serikat. Perusahaan asal Amerika kini memasok 80 persen kebutuhan katalis dunia. Menurut Subagjo, produksi katalis sangat strategis dan bisa dimonopoli agar pemiliknya terus unggul dalam persaingan di pasar.
ANWAR SISWADI