TEMPO.CO , Jakarta: Populasi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di Pasifik Selatan diketahui mulai pulih. Spesies yang sebagian besar bersarang di Arvanon, Kepulauan Salomon, itu telah mengalami eksploitasi berlebihan selama 150 tahun. Riset yang dilakukan peneliti The Nature Conservancy (TNC) dan koleganya menunjukkan ada kenaikan populasi 200 persen sejak era 1990an ketika jumlah penyu sisik mencapai rekor terendah dan terancam punah akibat perburuan.
Dalam laporan riset yang dimuat dalam jurnal PLOS ONE, April lalu, para peneliti mempelajari data penyu sisik yang diperoleh di Arvanon dalam 22 tahun. Mereka menganalisis data dari lebih 4.500 survei pantai dan riwayat penandaan (tagging) 845 penyu di Arvanon pada periode 1991-2012.
“Saat ini populasi penyu hanya berjumlah 10 persen dari total populasi mereka pada satu abad lalu, dan hanya satu dari 1.000 telur penyu yang dapat menetas dan tumbuh hingga dewasa,” ungkap Richard Hamilton, Direktur Program TNC Melanesia dan penulis utama penelitian itu dalam keterangan pers yang diterima Tempo, Jumat, 22 Mei 2015.
Wilayah di Kepulauan Solomon itu menjadi tempat perlindungan penyu sejak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Masyarakat Arvanon pada 1995. Penetapan kawasan konservasi itu juga diikuti dengan keputusan melarang ekspor penyu. Sejak saat itu jumlah sarang telur dan tingkat remigrasi penyu meningkat dua kali lipat. Laporan ini menjadi indikasi positif menyambut perayaan Hari Penyu Sedunia pada 23 Mei.
Menurut Hamilton, pemulihan populasi yang luar biasa itu menunjukkan adanya perubahan kebijakan dan pengelolaan berbasis komunitas yang inklusif. "Komitmen jangka panjang dapat menjadi titik balik dari penyelamatan salah satu spesies paling karismatik dan terancam punah di bumi kita," katanya.
Kepulauan Solomon adalah rumah aneka ragam terumbu karang dan ribuan spesies ikan. Pantai-pantainya menjadi perteluran yang penting bagi penyu belimbing dan sisik yang terancam punah. Sebagian besar penyu sisik yang bertelur di Kawasan Konservasi Laut Masyarakat Arvanon mencari makan hingga perairan Australia. Mereka bisa datang ke Arvanon sepanjang tahun untuk bertelur. Puncak masa bertelur penyu sisik bersamaan dengan periode musim dingin di Australia.
Colin Limpus, penasehat ilmiah pada Konvensi Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) untuk Konservasi Spesies Bermigrasi, mengatakan populasi penyu menurun drastis akibat eksploitasi berlebihan pada periode 1800an hingga 1900an.
Usaha konservasi yang dilakukan TNC dan pemerintah Kepulauan Solomon berhasil memperbaiki perkembangbiakan populasi penyu sisik di Arvanon. "Populasi penyu yang terkuras dapat dipulihkan namun membutuhkan aksi konservasi terfokus selama beberapa dekade," kata Limpus yang juga menjadi mitra penulisan makalah riset.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA