TEMPO.CO, Dakota Utara - Dengan lolosnya undang-undang baru awal tahun ini, Dakota Utara menjadi negara pertama yang melegalkan penegakan hukum dengan drone yang dilengkapi persenjataan.
Hukum itu membatasi jenis senjata yang diizinkan, yaitu dari jenis "kurang mematikan" seperti gas air mata, peluru karet, semprotan merica, dan Tasers.
Sponsor dari undang-undang ini, Rick Becker dari Partai Republik, mengatakan tidak senang dengan hasil undang-undang tersebut. "Menurut saya, harus ada garis merah: drone tidak seharusnya dipersenjatai,” ujarnya pada sidang bulan Maret, menurut The Daily Beast.
Awalnya, maksud dari RUU ini adalah meminta polisi mendapatkan surat perintah penggeledahan sebelum menggunakan drone untuk mencari bukti. Aturan ini juga melarang mempersenjatai drone.
Namun, agar lolos syarat, dibutuhkan surat perintah pencarian. Becker harus berkompromi terkait dengan masalah senjata. Seperti dikutip situs Arts Technica, Becker menggambarkan proses legislatifnya.
"Saya menyerahkannya dengan larangan senjata," katanya. "Lobi penegakan hukum menawarkan amendemen dan menyatakan, jika amendemen ditambahkan, mereka tidak akan menentang. Panitia menerima perubahan dan saya tidak melawan karena saya ingin ini lolos, setidaknya dengan membutuhkan surat perintah. Undang-undang menyatakan bahwa penegakan hukum tidak dapat menggunakan drone yang dilengkapi senjata mematikan."
Ini adalah kemenangan menentukan bagi pendukung pro-privasi dan kekalahan mengkhawatirkan bagi mereka yang mengkhawatirkan militerisasi polisi di Amerika.
Becker mengatakan ia akan mengupayakan perubahan aturan ketika DPR kembali membahasnya dalam dua tahun. "Pada 2017, ketika saya kembali, saya akan memperkenalkan RUU yang juga mencakup non-mematikan," tuturnya kepada Arts Technica.
Senjata yang dianggap kurang mematikan masih dapat mematikan. Sejauh ini, pada tahun 2015, menurut The Guardian, setidaknya 39 orang di Amerika Serikat tewas karena senjata Taser polisi. Peluru karet dan gas air mata juga telah menyebabkan luka berbahaya, bahkan kematian.
ERWIN Z. | NPR