TEMPO.CO, Washington D.C. - Fitoplankton dan munculnya awan yang menutupi Samudra Selatan selama musim panas ternyata saling berkaitan. Mikroorganisme laut itu bertanggung jawab atas terbentuknya separuh dari droplet atau butiran air di dalam awan yang menaungi laut. Tautan antara fitoplankton dan awan ini memberi petunjuk untuk memprediksi efek perubahan iklim.
Mikroorganisme laut berwarna hijau tersebut mengandalkan cahaya untuk tumbuh dan menyebar menjadi kumpulan besar di lautan. Hal ini, menurut ilmuwan, mempengaruhi bagaimana awan mengumpulkan butiran air. Ilmuwan gabungan internasional yang meneliti fenomena tersebut menemukan bahwa jumlah tetesan air dalam awan di atas Samudera Selatan meningkat dua kali lipat selama musim panas karena plankton jauh lebih banyak pada musim tersebut.
Awan putih, yang tampak seperti segumpalan kapas, tak hanya bagus untuk obyek foto. Awan dengan droplet yang lebih tinggi itu juga lebih cerah dan mampu merefleksikan lebih banyak sinar matahari, mencegah radiasi cahaya matahari mencapai bumi.
Butiran air pada awan-awan tersebut adalah deflector sinar matahari yang sanggup membelokkan panas sebelum memasuki atmosfer bumi. Awan paling terang dapat mengandung butiran air terbanyak, tapi dari mana butiran air tersebut berasal?
Dalam jurnal Science Advance, Daniel McCoy, pakar atmosfer dari University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, menjawab hal tersebut. "Jumlahnya bergantung pada fitoplankton, yang mengeluarkan partikel mikroskopis atau aerosol yang akan terbawa angin hingga ke atmosfer, bergabung menjadi butiran air dan membentuk awan," tulis pria yang memimpin studi ini.
Baca Juga:
Menurut McCoy, memahami hubungan antara kehidupan laut dan pembentukan tetesan awan merupakan bagian penting dari prediksi perubahan iklim. "Kita perlu tahu apakah aerosol itu sudah jenuh dan membuat awan semakin cerah," ujarnya. Dia menyebutkan hanya ada dua kemungkinan sumber aerosol, yaitu organisme laut dan manusia.
Menentukan sumber tersebut, McCoy menjelaskan, adalah pekerjaan yang rumit. Hal itu terjadi karena begitu aerosol mencapai atmosfer, makin sulit untuk mengidentifikasi sumbernya.
Walhasil, penelitian ini harus menggunakan satelit super-sensitif dan program pemodelan untuk menentukan jenis dan jumlah aerosol yang terpancar di atas wilayah Samudra Selatan. Wilayah ini meliputi Brasil bagian selatan dan turun ke Tiera del Fuego, sekelompok pulau di ujung selatan Amerika Latin.
McCoy dan timnya menggunakan satelit untuk mempelajari awan di atas Samudra Selatan. Dari situ mereka mengukur konsentrasi tetesan air per awan. Mereka menemukan bahwa wilayah perairan yang kaya fitoplankton hijau sesuai dengan lokasi awan dengan kandungan droplet lebih banyak.
Fitoplankton mendapatkan warna hijau dari klorofil yang membuat organisme itu bisa menyerap sinar matahari. "Mereka hidup subur di Samudra Selatan, terlebih saat musim panas tiba."
Karena aerosol sulit dilihat dari angkasa, para peneliti menggunakan model yang dapat melacak senyawa dimetil sulfida. Senyawa organosulfur ini biasanya dilepas fitoplankton dan berubah menjadi aerosol sulfat di atmosfer. Tim juga merancang model simulasi dari proses pembentukan air asin yang biasanya juga mengandung kotoran fitoplankton.
Namun tak semua aerosol dapat menarik tetesan air. Sifat kimia dan fisika mereka, kata Susannah Burrows, anggota studi dari Pacific Northwest National Laboratory, menentukan tingkat keberhasilan aerosol menjadi inti kondensasi awan dan mengubahnya menjadi titik-titik air.
"Aerosol kecil butuh waktu lebih lama untuk menarik droplet daripada yang berukuran besar," ujarnya. Selain itu, tingkat kelarutan menentukan mudah-tidaknya aerosol mengambil uap air di atmosfer. "Garam laut sangat mudah larut dan menyedot uap air dari atmosfer sehingga partikel organik adalah inti kondensasi awan yang kurang efektif dibanding garam."
Dengan pemodelan ini, para peneliti bisa memprediksi konsentrasi tetesan air di awal. Hasilnya, kata McCoy, sangat menarik dalam ranah iklim global. "Jumlah sinar matahari yang dipantulkan awan amat ditentukan oleh jumlah droplet awan."
Dari situ para peneliti dapat menghitung jumlah cahaya yang dipantulkan awan. Hasilnya, ada peningkatan tetesan awan sebesar 60 persen sepanjang tahun di Samudra Selatan. Jumlah ini meningkat dua kali lipat saat musim panas, ketika fitoplankton aktif berfotosintesis. "Sinar matahari yang dipantulkan meningkat 4 watt per meter persegi, dan naik 10 watt per meter persegi pada musim panas," ujarnya.
McCoy dan tim memilih untuk berfokus pada Samudra Selatan untuk mencari tahu pengaruh aerosol yang dihasilkan manusia. Tempat ini pula dipilih lantaran dapat mengesampingkan kecepatan angin, suhu permukaan laut, dan variabel lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi tetesan awan.
Akhirnya, tujuan studi ini tidak lain untuk memberikan pemahaman tentang perbandingan perubahan iklim. "Dari sini kita bisa memulai di tempat lain dengan metode serupa, termasuk tempat aktivitas manusia merajalela, yang biasanya menjadi faktor paling besar dalam perubahan iklim.
SCIENCE ADVANCE | LIVE SCIENCE | AMRI MAHBUB