TEMPO.CO, California - Alvan Santoso, Manajer Strategi dan Analitik Google, tengah menikmati burito di piring putihnya. Makanan khas asal Meksiko itu berupa daging sapi, ayam, dan sayur yang digulung dengan tortilla (semacam roti berbentuk bulat datar yang berasal dari tepung gandum atau jagung). Arvan menyantap dengan lahap makanan segar itu menggunakan garpu.
Kami berbincang-bincang pas jam makan siang di pelataran di luar Massa Cafe, salah satu restoran yang populer dengan menu Meksiko di gedung 1015 di tengah Kampus Google, sebutan bagi kompleks kantor pusat Google di Mountain View, California, Amerika Serikat, akhir Oktober 2015.
Kami duduk mengitari sebuah bangku bundar berpayung biru, yang sedikit menahan terik matahari California yang panas. Beberapa Googler--sebutan bagi karyawan Google--berseliweran membawa nampan berisi makanan dan minuman, yang kemudian duduk di bangku lain di pelataran tersebut.
Di dalam kafe, para Googler mengantre di beberapa gerai yang menyediakan makanan Meksiko, India, Cina, Jepang, hingga vegetarian. Di sini semuanya swalayan. Mereka memilih dan mengambil sendiri makanan di gerai. Beberapa orang yang sudah makan lantas membawa nampan dan piring kotornya ke bagian dapur.
Alvan adalah salah satu Googler dari Indonesia. Dia dan rekan-rekan sekerjanya dari Indonesia, yang tergabung dalam komunitas Indo Googler, sering berkumpul di acara makan siang semacam ini sebulan sekali. Ada 25-30 orang Indonesia di sini. "Biasanya kami janjian lewat Google Hangouts,” kata Alvan. Google Hangouts adalah aplikasi media sosial berbasis Android yang bisa dipakai untuk merancang sebuah pertemuan.
Ketika kami nongkrong di pelataran kafe, beberapa rekan Alvan memilih duduk di dalam kafe. Mereka antara lain Bramandia Ramadhana, Hamdanil Rasyid, Hong Majaya, Sonny Sasaka, Felix Halim, dan Amanda Surya. Mereka masih muda, sekitar 30 tahun, tapi ada yang sudah menduduki jabatan penting seperti Amanda, yakni manajer program teknik di Nest.
Restoran adalah area yang paling disukai Alvan karena dia suka makan. Ada juga kafe lain yang khusus menyediakan kopi kental, caffe latte atau cappuccino. Tapi, “Saya kangen orang Indonesia, karena orang Indonesia itu ramah sekali. Saya tiap tahun pulang ke Jakarta, mengunjungi keluarga dan kangen makanannya, khususnya sate ayam,” kata Alvan, yang sudah sembilan tahun bekerja di salah satu perusahaan teknologi informasi terbesar di Silicon Valley ini.
Kantor Google berlimpah makanan dan minuman gratis untuk karyawan dan tamunya. Berbagai kafetaria untuk makan berat tersebar di beberapa gedung di kompleks seluas 18,5 hektare itu. Beberapa “gerobak dorong” membuka layanan pada jam-jam sarapan, makan siang, dan makan malam di jalan antargedung.
Di “gerobak” itu kita bisa mendapat pizza, hotdog, atau buah-buahan. Di setiap gedung juga tersedia micro kitchen, dapur yang menyediakan makanan dan minuman ringan, dari kopi dan teh hingga susu dan jus buah, dari keripik kentang sampai cokelat.
Mengapa kantor menyediakan makanan gratis? “Mengapa tidak gratis? Itu fasilitas untuk membuat pegawai senang, sehingga pegawai tak perlu berpikir hari ini mau makan apa, sehingga waktu yang digunakan untuk mencari makan bisa digunakan untuk bekerja,” kata Hong Majaya, analis sistem bisnis yang khusus menangani fasilitas Google.
Baca selengkapnya di Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Desember 2015
IWAN KURNIAWAN