TEMPO.CO, Jakarta - Gerhana matahari total pada 11 Juni 1983 mengundang banyak ahli ilmu falak meramal dan berpendapat soal bagaimana cara menghitung secara mudah keberadaan satu garis antara bumi, bulan, dan matahari. Majalah Tempo edisi 11 Juni 1983 pernah mengulasnya karena waktu itu juga ramai dibicarakan, seperti gerhana matahari mendatang pada 9 Maret 2016.
Tanpa komputer dan rumus matematika, ribuan tahun sebelum Masehi, orang Babilonia sudah mampu meramalkan gerhana matahari atau gerhana bulan. Pengamatan pergerakan bintang, bulan, dan matahari selama berabad-abad mengajarkan mereka adanya suatu pola keberaturan dalam alam semesta.
BACA: Gerhana Matahri Total, Indonesia Sibuk Bikin Penyambutan
Salah satu penemuan orang Babilonia itu ialah serangkaian jenis gerhana matahari – total, sebagian, atau cincin –dan gerhana bulan cenderung berulang setelah 18 tahun (surya) 11 1/3 hari (atau 10 hari jika terdapat 5 tahun kabisat). Daur ini dinamakan “saros”, kata yang berasal dari bahasa Babilonia, sharu—daur yang setelah diuji secara matematis ternyata sangat presisi.
Ada tiga unsur utama yang diperhitungkan: kurun waktu peredaran bulan hingga kembali pada fase semula, bulan sinodis atau 29,9 hari. Kemudian kurun waktu 27,2 hari, yang disebut bulan nodis atau bulan drakonis, yaitu saat bulan kembali melampaui titik simpul yang sama dengan bidang ekliptika.
Unsur ketiga ialah bulan anomalistik, yang disebabkan jarak antara bulan dan bumi berubah-ubah, ditambah gerakan sumbu bulan, seperti gasing. Kurun waktu ini berlangsung selama 27,5 hari. Nah, kelipatan persekutuan terkecil ketiga kurun waktu tadi ialah 18 tahun 11 1/3 hari! Oleh astronom dan matematikawan Jerman F.W Bessel kemudian dirumuskan dalam seperangkat rumus.
BACA: Mitos dan Fakta Gerhana Matahari Total
Unsur lain yang harus diperhitungkan ialah posisi bumi relatif terhadap matahari. Karena garis edar bumi sekitar matahari juga merupakan elips, ada kalanya ia dekat dan ada kalanya ia Jauh. Ini terutama menentukan terjadinya gerhana total, cincin, atau sebagian.
Tempo mewawancarai K.H. Zainal Abidin, dekan Fakultas Syari'ah, Universitas Islam Bandung, yang tak memakai perangkat Bessel tapi memakai ilmu falak. Dasar perhitungan yang dipakai Kiai ini agaknya bersumber pada daur saros. "Setiap 18 tahun 11 hari, terjadi gerhana yang sama, tapi tempatnya belum tentu sama," ucapnya. Dalam waktu 6584,223 hari itu, menurut Pak Kiai, terjadi 70 kali gerhana, yaitu 29 kali gerhana bulan dan 41 kali gerhana matahari.
Menurut ulama, yang akrab dipanggil Pak Iping itu, gerhana matahari hanya mungkin terjadi pada akhir bulan komariyah atau saat bulan dalam konjungsi. Tapi tidak berarti setiap akhir bulan komariyah terjadi gerhana matahari. Itu hanya terjadi bila deklinasi bulan berada pada burudj hamal (rasi bintang Aries) atau burudj mizan (Libra) dari tanggal 1 sampai dengan 6. Juga pada burudj huzt (Pisces) atau burudj sumbulah (Virgo) dari tanggal 24 sampai 30 akhir.
BACA: Sejarah Gerhana Matahari Total di Indonesia
Bagaimana cara menggunakannya untuk menghitung bulan baru atau gerhana? "Hanya dengan perkalian, penjumlahan, dan pengurangan biasa," kata H. Achmadi Muhammad, pemimpin Pesantren Al-Mansyuriyah di Jembatan Lima, Jakarta, yang tersohor sebagai ahli ilmu hisab. Ia pewaris ilmu falak yang termaktub dalam Kitab Sulaman Naraya. Kitab ini diwariskan turun-temurun dari H. Mansyur Muhammad, yang menyesuaikan isi buku itu dengan garis lintang Jakarta. Kitab aslinya pernah dibawa ayahnya, Imam Abdul Hamid, dari Mekah di abad ke-l9. *