Tahu dan Telur Tercemar Dioksin, Walhi Sayangkan Respons Pemda
Reporter
Tempo.co
Editor
Erwin Prima
Selasa, 26 November 2019 00:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) menyayangkan respons pemerintah daerah (pemda) yang kontradiktif dengan kabar tercemarnya telur dan tahu oleh dioksin yang berasal dari pembakaran sampah plastik di pabrik tahu di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.
"Kami justru menyayangkan respons pemda. Bukannya menanggulangi malahan justru melakukan kampanye balik untuk makan tahu dan telurnya. Seharusnya kan kalau ada temuan seperti itu, Dinas Lingkungan Hidup setempat bisa melakukan riset serupa untuk membuktikannya," ungkap Perwakilan Walhi Jawa Tengah Abdul Ghofar di Kantor Walhi Eksekutif Nasional, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin 25 November 2019.
"Bukan malah meng-counter isu bahwa temuan ini hanya untuk mematikan pasar," imbuhnya.
Sebelumnya, aliansi peneliti yang terdiri atas International Pollutants Elimination Network (IPEN), Arnika Association, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), dan Nexus3 Foundation menyebutkan bahwa telur ayam bukan ras (buras) yang dilepasliarkan di Tropodo dan Bangun, Jawa Timur mengandung 16 jenis racun dari limbah plastik. Salah satu racun yang terkandung di dalam telur ialah dioksin.
Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Jumat, 15 November 2019, itu menyebutkan bahwa konsentrasi dioksin dalam telur di Tropodo mencapai 200 pg TEQ g-1 lemak. Angka itu tertinggi kedua di Asia, hanya kalah oleh kandungan dioksin di Bien Hoa di Vietnam, yang terpapar senjata kimia buatan Amerika Serikat. Senyawa berbahaya ini dapat memicu berbagai penyakit, seperti jantung, kanker, dan diabetes.
Kalau dirunut kembali, kata Abdul, ini merupakan salah satu dampak dari proses panjang impor limbah plastik di Indonesia. "Praktik ini sudah berlangsung lama, memang paling banyak itu di Jawa Timur. Limbah sampah ini dijadikan bahan bakar karena kadar airnya rendah dan sudah dalam bentuk bricket-bricket," lanjutnya.
Lebih jauh lagi, Abdul mengungkapkan bahwa Indonesia masih mengandalkan penanggulangan sampah, terutama limbah plastik, di hilir. "Jadinya kita masih berpikir, 'nggak papa limbah plastik banyak, nanti tinggal dijadikan bahan bakar saja atau dijadikan sumber untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)'," ujar Abdul.
"Itu ada kesalahan berpikir yang paling fatal. Harusnya penanggulangannya itu dari hulu, bukan di hilir seperti itu. Mengingat limbah plastik kalau dibakar itu mengandung zat-zat beracun seperti kadmium, merkuri, dan dioksin," lanjutnya.
GALUH PUTRI RIYANTO