Jawab Kritik Lapan, BPPT: Ibarat Ular, Tak Perlu Patuk Kepala
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Sabtu, 25 Januari 2020 10:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto menerangkan bagaimana timnya biasa bekerja, terbang menyemai garam di antara gugusan awan berusaha menciptakan hujan buatan. Dia menanggapi sejumlah catatan kritis dari Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin tentang TMC untuk mitigasi bencana banjir akibat hujan ekstrem di Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Tri, modifikasi cuaca dilakukan dengan menyemai awan-awan yang diprediksi BMKG akan memasuki wilayah Jabodetabek dan berpotensi menyebabkan banjir. Awan-awan tersebut disebutkannya biasa tumbuh di atas Lampung, Selat Sunda, dan Laut Jawa. "Awan-awan ini kami semai agar bisa jadi hujan lebih awal di atas laut sebelum memasuki Jabodetabek," katanya lewat keterangan tertulis yang dibuatnya, Jumat malam 24 Januari 2020.
Untuk awan-awan yang sudah matang, Tri menerangkan, hujan bisa segera terjadi 10 menit setelah penyemaian. Namun jika bisa juga jadi hujan 20 menit, 30 menit, bahkan 1-2 jam setelah penyemaian. "Umur awan dan arah serta kecepatan angin kita hitung agar awan bisa jatuh di atas laut," katanya.
Penjelasan itu ditujukan menjawab satu catatan Thomas yang mempertanyakan efektivitas hujan buatan tim BPPT. Menurut Thomas, rentang waktu penaburan garam dan turunnya hujan kontradiksi dengan asumsi bahwa awan tersebut sedang mengarah ke Jakarta. "Misalnya saat garam ditaburkan di Selat Sunda (jalur penerbangan yang sepi-pilihan terbanyak) atau laut Jawa (jalur penerbangan yang ramai-terbatas), hujan bisa jadi turun di wilayah Banten, kan kasihan," kata Thomas pada Jumat pagi.
Thomas juga menilai hujan buatan hanya memiliki manfaat efektif saat diterapkan pada masa pancaroba dengan kondisi awan yang minim. Alasannya adalah jenis awan yang dihadapi tim TMC jauh berbeda . Awan penyebab hujan ekstrem di musim hujan dijelaskannya adalah awan cumulonimbus yang umumnya berupa gugusan besar, bahkan tergolong raksasa, menjulang lebih dari tujuh kilometer dengan mekanisme updraft yang sangat kuat.
"Operasi TMC dengan menabur garam pada ketinggian 10-15 ribu kaki (3,0-4,5 km) hanya menyasar awan rendah yang tidak berpotensi menyebabkan hujan ekstrem," kata alumni ITB serta lulusan S2 dan S3 Astronomi di Universitas Kyoto, Jepang itu.
Menjawab catatan yang kedua itu, Tri menjelaskan bahwa menyemai tidak harus dari puncak awan. Dalam operasi TMC di dunia, dia menuturkan, sudah lazim menyemai awan justru dari dasar awan sekitar tiga ribu kaki pada awan yang menjulang dengan ketinggian puncaknya mencapai puluhan ribu kaki.
"Level ketinggian penyemaian bukanlah tolak ukur efektivitas penyemaian. Maka mengkritisi level penyemaian 10 ribu kaki pada awan yang tingginya 20 ribu kaki adalah kritik yang tidak didasari oleh pemahaman ilmu fisika awan sama sekali," katanya.
Tri justru menunjuk aliran ke atas (updraft) dan aliran ke bawah (downdraft) dalam awan sebagai jalan bahan semai masuk dan menyebar ke hampir seluruh bagian awan. "Ini ibarat ular yang tidak harus mematuk kepala manusia untuk membunuh. Tapi cukup mematuk kaki saja maka bisa/racun akan menyebar dan mampu membunuh."
Perdebatan tentang efektivitas teknologi modifikasi cuaca untuk mitigasi bencana banjir akibat hujan ekstrem di Jakarta ini terjadi usai diskusi di Gedung BPPT. Diskusi pada Jumat pagi itu yang ditujukan untuk memperkuat ekosistem teknologi modifikasi cuaca itu melibatkan di antaranya ahli dari BPPT, Lapan, ITB, dan BMKG.