Hasil Riset: Air di Jakarta Terkontaminasi Mikroplastik
Editor
Amri mahbub al fathon tnr
Rabu, 6 September 2017 12:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset terbaru mengungkap, mikroplastik ditemukan di jaringan air ledeng dan sumur di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal itu terungkap dari analisis 159 sampel air ledeng dan air tanah dari sebuah studi yang dilakukan Orb Media bersama ilmuwan dari University of Minnesota dan State University of New York.
Secara ekslusif Tempo.co mendapatkan temuan tersebut dari Orb Media. Liputan ini dipublikasikan serentak di sejumlah media terkemuka di seluruh dunia, termasuk The Guardian, hari ini.
Sebanyak 159 sampel tersebut berasal dari delapan wilayah di lima benua. Di antaranya, yaitu Jabodetabek, Indonesia (21 sampel); New Delhi, India (17 sampel); Kampala, Uganda (26 sampel). Juga di Beirut, Lebanon (16 sampel); Amerika Serikat (36 sampel); Kuba (1 sampel); dan, Quito, Ekuador (24 sampel), dan Eropa (18 sampel). Dari 159 sampel air keran yang diambil dari lima negara tersebut, 83 persen di antaranya mengandung partikel serat plastik mikroskopis (mikroplastik).
Persentase tingkat kontaminasi mikroplastik di seluruh dunia. (Orb Media)
Baca: Hasil Riset: Cokelat Bisa Bantu Obati Diabetes
Mayoritas mikroplastik yang ditemukan (99,7 persen) berukuran 0,1-5 milimeter. Itu berarti ukurannya bisa lebih kecil ketimbang kutu rambut (Pulex irritans) atau plankton Sagitta setosa, yang tidak bakal kelihatan dengan mata telanjang.
"Jumlah rata-rata per liternya mencapai 57 partikel atau sekitar 4,34 partikel per sampel air," tulis tim yang dipimpin Mary Kosuth, peneliti kesehatan lingkungan dari University of Minnesota, dalam studi berjudul "Synthetic Polymer Contamination in Global Drinking Water: Preliminary Report" itu.
Selama ini, negara di seluruh penjuru dunia menghasilkan 300 juta ton plastik setiap tahunnya. Itu setara dengan berat 46 Piramida Gizza. Lebih dari 40 persen plastik tersebut hanya digunakan sekali, kadang kurang dari satu menit, lalu dibuang.
Pemakaian yang singkat itu tidak sebanding dengan keberadaannya di lingkungan yang bisa bertahan selama berabad-abad. Sebuah studi memperkirakan lebih dari 8,3 miliar ton plastik telah dihasilkan sejak dekade 1950. Lambatnya proses pengolahan air limbah memungkinkan lebih banyak serat plastik terproduksi.
Plastik tersebut tidak bisa hancur. Tapi menjadi potongan-potongan mikroskopis yang dimakan ikan dan satwa laut lainnya dan dapat ditemukan di pasar-pasar ikan di Asia Tenggara, Afrika Timur, dan California. Ini mengilhami Orb Media untuk melihat keberadaan mikroplastik dalam saluran air ledeng dan air tanah
Baca: Hasil Riset: Kabin Pesawat Jadi Tempat Penyebaran Penyakit
Orb Media dan tim melakukan beberapa metode analisis untuk mengungkap keberadaan mikroplastik dalam saluran air keran dan sumur. Pertama, mereka mengumpulkan sampel dari berbagai lokasi, termasuk di Indonesia.
Tahap kedua, air disaring melalui saringan selulosa Whatman selebar 55 milimeter. Filter ini mampu menangkap keberadaan mikroorganisme sampai ukuran 2,5 mikronmeter. Botol yang telah kosong dibilas tiga kali dengan air yang sudah dideionisasi untuk menangkap partikel yang mungkin tertinggal dalam botol. Filter tersebut juga diberi pewarna pigmen rose bengal untuk membedakan bahan organik dan sintetis.
Tahap terakhir, filter ini diperiksa di bawah mikroskop Leica EZ4W yang bisa menangkap benda mikroskopis sampai 0,1 milimeter. Voila! Mikroplastik tampak di sana.
Mary Kosuth sedang menganalisis sampel air yang terkontaminasi mikroplastik di laboratorium University of Minnesota. (Orb Media)
Selanjutnya: Mikroplastik di Indonesia
<!--more-->
Di Indonesia, sampel diambil dari lima kawasan Jakarta; Bogor, Depok, dan Bekasi, Jawa Barat; dan Tangerang Selatan, Banten. Jumlahnya cukup mencengangkan.
Dari 21 sampel (per sampel rata-rata 500 mililiter) yang diambil, 76 persen di antaranya terkontaminasi mikroplastik. Artinya, ada 1,9 mikroplastik pada tiap 500 mililiter air keran maupun air tanah. Sebagian besar responden yang diambil airnya sebagai sampel menyatakan air tersebut digunakan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, serta memandikan hewan peliharaan.
"Kami yakin memiliki cukup data untuk membuktikan bahwa satwa, terutama yang hidup di alam liar, terdampak mikroplastik," kata Sherri Mason, peneliti mikroplastik dari State University of New York, yang menjadi anggota studi. "Ini membuat kita berpikir bahwa, apakah mikroplastik berpengaruh kepada manusia?"
Plankton Sagitta setosa, yang berguna dalam ekosistem laut, memakan serat mikroplastik yang panjangnya mencapai 3 milimeter. (Orb Media)
Studi Orb Media ini memang belum sampai sana. Namun, menurut Richard Thompson, peneliti biologi kelautan yang juga Wakil Dekan bidang Penelitian Fakultas Sains dan Teknologi Playmouth University di Inggris, mikroplastik bisa saja mengandung dan menyerap bahan kimia beracun.
"Banyak studi terhadap satwa liar, mikroplastik melepas senyawa kimia tersebut ke dalam tubuh," ujar Thompson, yang tak tergabung dalam tim, kepada Orb Media. Senyawa kimia beracun tersebut, menurut dia, akan dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem pencernaan.
Selain itu, menurut dia, mikroplastik juga bisa membawa bakteri berbahaya yang bisa saja dibawa dari tempat pengolahan air limbah, sangat mungkin terjadi pada manusia mengingat ukurannya yang sangat kecil. "Dalam kisaran mikron, mikroplastik bisa saja menembus sel tubuh," kata dia.
Mikroplastik yang ditemukan dari sampel di Jalan Ketang-ketang, Pulo Gadung, Jakarta Timur. (Orb Media)
Baca:Alkohol Sehat atau Buruk? Hasil Riset Ini Menjawabnya
Adapun yang memiliki kontaminasi tertinggi ialah Amerika Serikat, yang jumlahnya mencapai 94 persen. Sampel air tersebut diambil dari kawasan Capitol Hill di Washington D.C., tempat Gedung Kongres dan markas Environtmental Protection Agency. Juga, diambil di New York, tempat Trump Tower berdiri.
Tingkat kontaminasi tertinggi juga ada di Lebanon, 94 persen. "Penelitian ini hanya menggores permukaan, tapi hasilnya bikin 'gatal'," ujar CEO Difaf, Hussam Hawwa. Difaf adalah lembaga konsultan lingkungan yang berbasis di Lebanon dan turut andil dalam studi ini saat pengumpulan sampel. Negara-negara Eropa, termasuk Inggris, Jerman dan Prancis memiliki tingkat kontaminasi terendah, jumlahnya 72 persen.
Meski para ahli mengatakan masih terlalu dini menghubungkan serat plastik dalam air keran dengan kandungan kimia atau senyawa biologis lain. "Paling dekat adalah penelitian dampaknya terhadap manusia," kata Lincoln Fok, pakar lingkungan dari Education University of Hong Kong. "Apakah terakumulasi dalam biologis? Membatasi perkembangan sel manusia? Atau, menjadi vektor patogen berbahaya?"
Baca: Ini Hasil Riset Google Soal Perilaku Belanja Online di Indonesia
Simak hasil riset menarik lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
AMRI MAHBUB | DAN MORISSON | CHRITOPHER TYREE