TEMPO.CO, Jakarta - Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft Belanda, mengakui telah berbohong kepada publik. Dia sebelumnya mengaku sebagai calon profesor bidang aeronautika. "Calon profesor muda (28 tahun) pengganti Habibie," begitu media massa menyebutnya dalam dua tahun terakhir.
Namanya naik daun dalam dua tahun terakhir setelah diberitakan berbagai media elektronik maupun televisi setelah mengaku diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam. Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda (28 tahun) calon profesor bidang roket.
Tak ayal, dia pun dianggap "pahlawan" Indonesia di negeri Belanda. Faktanya, Dwi lahir pada 13 Maret 1982. Artinya, dia sudah berumur 35 tahun, bukan 28 tahun seperti yang diberitakan. Dia pun sempat mengaku bahwa ditawari menjadi warga negara Belanda, tapi ditolaknya.
Namun, semua pengakuan itu ternyata bohong belaka. Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi tersebut tertanggal 7 Oktober 2017 disertai tanda tangan di atas materai.
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005. Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Selain tentang lulusan stratra-1, berikut sejumlah hal kontroversial yang telah dilakukan Dwi Hartanto.
1. Bukan Asisten Profesor di TU Delft
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy".
"Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis Dwi.
2. Tidak Ikut Kompetisi Antar-Space Agency Dunia di Jerman
Dalam pernyataannya Dwi mengakui hal itu. "Saya mengakui bahwa ini adalah kebohongan semata. Saya tidak pernah memenangkan lomba riset teknologi mt&v-space agency dunia di Jerman pada 2017. Saya memanipulasi template cek hadiah yang kemudian saya isi dengan nama saya disertai nilai nominal EUR 15.000, kemudian berfoto dengan cek tersebut. Foto tersebut saya publikasikan melalui akun media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya.
Teknologi "Lethal weapon in tiie sky" dan klaim paten beberapa teknologi adalah tidak benar dan tidak pernah ada. Informasi mengenai saya bersama tim sedang mengembangkan teknologi pesawat tempur generasi ke-6 adalah tidak benar. Informasi bahwa saya (bersama tim) diminta untuk mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar.
Lokasi pengambilan foto yang sebenarnya adalah di gedung Space Business Innovation Centre di Noordwijk, Belanda, saat saya mengikuti lomba hackathon Space Apps Challenge. Perlombaan ini terbuka untuk pelajar dan profesional. Saat itu saya bergabung dalam suatu tim mahasiswa dan kami tidak menang. Topik tim kami dalam lomba ini adalah 'Monitoring groundwater changes through satellite technology'."
Baca: Apakah Dwi Hartanto Mengidap Gejala Mythomania?
3. Kebohongan tentang Pertemuan dengan Habibie
Soal pertemuan dengan Presiden Ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie, dia juga menyatakan berbohong. Bukan Habibie, melainkan Dwi sendirilah yang meminta pihak KBRI Den Haag untuk dipertemukan dengan Habibie. Karena semua kebohongan itu juga di-posting oleh Dwi di akun media sosialnya, salah satunya Facebook, Dwi mengaku sudah menutup akun tersebut.
Dalam pernyataannya, Dwi membenarkan dia diundang ke acara Visiting World Class Professor di Jakarta. Namun, kompetensi yang disebutkan sebagai alasan dia diundang, adalah tidak benar.
4. Tidak Merancang Satellite Launch Vehicle
Dwi juga mengaku bahwa tidak merancang Satellit Launch Vehicle. Menurut dia, yang benar adalah bagian dari tim mahasiswa yang merancang subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE. Dia membantah ada roket bernama TARAV7s.
5. Soal Posisinya di European Space Agency
Pengakuan kebohongan juga dia berikan soal wawancara dengan Najwa Shihab dalan program Mata Najwa. Dalam suratnya, Dwi menyatakan tidak benar bahwa dia adalah satu-satunya orang non-Eropa yang masuk ke ring satu teknologi Badan Antariksa Eropa (ESA).
Simak artikel kebohongan Dwi Hartanto lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.