TEMPO.CO, Jakarta - Tindakan pembohongan publik Dwi Hartanto ternyata sudah menjadi kasak-kusuk di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda sejak September lalu. Rumor tentang kebohongan Dwi itu memicu banyak pertanyaan.
"Banyak diperbincangkan di grup WhatsApp. Juga, ada dari mulut ke mulut," kata Rika Theo, mahasiswa asal Indonesia saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Senin, 9 Oktober 2017. Rika merupakan mahasiswa doktoral di jurusan Geografi Manusia di Fakultas Geoscience, Universitas Utrecht.
Menurut Rika, beberapa mahasiswa Indonesia ada yang percaya bahwa Dwi berbohong. Ada juga yang percaya bahwa Dwi berkata benar. Namun, semua menjawab setelah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag mencabut gelar penghargaan untuk Dwi Hartanto.
Melalui surat tertanggal 15 September 2017 yang dicap dan ditandatangani Dubes RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, KBRI secara resmi mencabut gelar penghargaan yang sebelumnya diberikan oleh pihak kedutaan kepada Dwi Hartanto.
Dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ke72 pada Agustus lalu, KBRI Den Haag memberikan penghargaan kepada Dwi atas prestasinya sebagai pemenang di kompetisi riset internasional di bidang Space Craft and Technology. Dalam pertimbangannya, KBRI Belanda tidak menjelaskan secara rinci alasan pencabutan penghargaan untuk Dwi. Hanya tertulis dalam surat tersebut: "Terdapat dinamika dan perkembangan di luar praduga dan itikad baik".
Baca: Ini Pengakuan Kebohongan Dwi Hartanto
Rika mengatakan, kehebohan langsung terjadi setelah keluar keputusan KBRI tersebut. Sebab, tak lama setelah pencabutan tersebut, mencuat dokumen yang dikeluarkan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Ada dua dokumen yang menyatakan bahwa klaim Dwi selama ini tidak benar.
Dokumen pertama terdiri 33 halamam berisi beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya dan link berbagai website tentangnya. Salah satunya termasuk transkrip wawancara di program Mata Najwa pada Oktober 2016, serta surat-menyurat elektronik dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim Dwi Hartanto.
Dokumen kedua, sebanyak delapan halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1 (Strata-1), umur, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.
"Kok bisa kebohongan itu terjadi bertahun-tahun? Kenapa banyak pihak bisa lengah dan tidak melakukan crosscheck? KBRI, grup Indonesia diaspora, Kominfo, media," kata Rika menceritakan keheranannya. "Bukan cuma banyak yang tertipu, tapi juga absurd." Rika berpendapat, kisah sukses pelajar Indonesia di luar negeri memang menyilaukan mata banyak pihak, sehingga melonggarkan kewaspadaan.
Menurut Rika, sangat lumrah seorang akademisi melakukan kesalahan. "Tapi kalau bohong, tamat sudah kredibilitasnya," kata dia yang mantan jurnalis itu.
Baca: Apakah Dwi Hartanto Mengidap Gejala Mythomania?
Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi bermaterai 6.000 tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005.
Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy". "Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis dia.
Di surat klarifikasi itu, Dwi berjanji tak akan mengulangi kesalahannya tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yakni sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya. "Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum," tulis Dwi.
Baca: Ini 5 Dosa Dwi Hartanto
Simak artikel lainnya tentang Dwi Hartanto hanya di kanal Tekno Tempo.co.