TEMPO.CO, Quebec - Alzheimer, penyakit yang menjadi momok saat usia lanjut datang, kini bisa dideteksi lebih awal menggunakan kecerdasan buatan. Artificial intelligence (AI) ini bekerja dengan algoritma khusus yang bisa memprediksi dengan cukup akurat siapa yang akan terjangkit penyakit tersebut dalam dua tahun ke depan. Tingkat akurasinya mencapai 84 persen.
Studi yang terbit secara online dalam jurnal Neurobiology of Aging edisi 10 Juli 2017 itu berjudul "Identifying Incipient Dementia Individuals Using Machine Learning and Amyloid Imaging". Meski baru tahap pengembangan, menurut tim pembuatnya, analisis kecerdasan buatan ini bisa memberikan hasil yang lebih baik ketimbang mengandalkan analisis dokter semata.
"Bukan mengesampingkan peran dokter. Sebaliknya, alat ini memberikan masukan tambahan untuk analisis yang lebih akurat," kata Pedro Rosa-Neto, anggota tim yang juga pakar neurologi dari McGill University, Kanada, seperti dikutip dari laman berita Live Science.
Baca: Ahli Teknologi Ini Bikin Agama Baru Bertuhankan Kecerdasan Buatan
Selama ini, Rosa-Neto menjelaskan, yang menjadi kendala dalam kasus alzheimer adalah analisis yang cepat dan tepat serta penentuan penanganan medis atau obat yang cocok. Dia mengatakan kecerdasan buatan ini mampu melakukan keduanya.
"Jika bisa mengungkap jenis kelompok individu mana saja yang akan terkena alzheimer, dokter otomatis dapat membuat obat ampuh untuk mencegah timbulnya penyakit ini,” ujar penulis utama studi yang juga ilmuwan komputer di McGill, Sulantha Sanjeewa.
Selama ini, pengembangan obat pencegah alzheimer harus melewati masa uji klinis yang bisa berlangsung selama 18-24 bulan. Padahal gempuran penyakit alzheimer di otak lebih cepat dari itu.
Baca: Elon Musk dan Mark Zuckerberg Berselisih Soal Kecerdasan Buatan
Meski Alzheimer Associations menyebutkan alzheimer adalah bentuk demensia atau penurunan daya ingat yang paling umum, penyakit ini cukup berbahaya. Pada fase awal, seseorang yang terkena penyakit alzheimer biasanya akan terlihat mudah lupa. Gejala meningkat pada tahap kesulitan melakukan perencanaan, kesulitan bicara, sulit membuat keputusan, dan kerap terlihat bingung.
Pada kasus yang parah, penderita alzheimer bisa mengalami delusi dan halusinasi. Juga, tidak mampu melakukan aktivitas tanpa dibantu orang lain. Peningkatan gejala tersebut terjadi karena penumpukan protein amiloid di berbagai daerah otak yang kemudian menyebabkan kerusakan kognitif permanen. Penumpukan protein ini disebut amiloidosis.
Sanjeewa, Rosa-Neto, dan tim berangkat dari kompleksitas protein tersebut dan membuat algoritma untuk menghitung kapan seseorang akan terkena alzheimer. Menurut tim, prediksi yang cukup akurat sulit dilakukan berdasarkan PET Scan (positron emission tomography) saja.
Baca: Google dan MIT Bikin Kecerdasan Buatan Fotografi
"Siapa saja bisa mengalami amiloidosis dan perlu 5-10 tahun baru gejala demensia muncul. Tapi, kalau tidak ditangani segera dan demensia fase awal datang, saat itulah sulit mengembalikan otak ke fungsi normal," Rosa-Neto menjelaskan.
Tim melakukan beberapa tahap untuk merancang algoritma kecerdasan buatan ini. Pertama, mereka membuat perangkat lunak (software). Kedua, program tersebut diberikan data gejala alzheimer dan diajarkan untuk menghitung kemungkinan seseorang terkena penyakit tersebut. Ketiga, mengujinya.
Saat merancang program, tim memasukkan algoritma untuk menganalisis gambar PET. Tim merancangnya agar bisa mempertimbangkan masalah umum yang muncul saat seseorang mengalami gangguan kognitif ringan. Algoritma tersebut juga bisa mempertimbangkan bahwa penumpukan protein amiloid bisa terjadi dalam tingkat yang berbeda, dalam konsentrasi berbeda, dan lokasi berbeda di otak.
Baca: Nonton TV Seharian, Alzheimer Risikonya
Dalam tahap pengujian, tim menggunakan kecerdasan buatan ini untuk menganalisis adanya amiloidosis pada gambar PET dari 200 pasien yang mengalami gangguan kognitif ringan. Hasilnya, AI memprediksi alzheimer akan berkembang pada 24 bulan setelahnya.
Lantas tim mengujinya kembali terhadap 270 individu berbeda. Hasilnya pun tak jauh. Dari jumlah tersebut, 43 orang didiagnosis menderita alzheimer pada 24 bulan mendatang. “Akurasinya mencapai 84 persen,” ujar Sanjeewa.
Kenapa 84 persen? Sanjeewa dan tim menyatakan kecerdasan ini masih tahap pengembangan. Atau, bisa saja para pasien mengalami bentuk gangguan kognitif selain alzheimer yang datanya tidak dimasukkan ke dalam kecerdasan buatan ini.
Selain itu, para pasien mungkin tidak mewakili masyarakat umum. Inilah yang sedang dikembangkan tim ke depan. Karena itu, kecerdasan buatan ini ditampilkan secara online (http://predictalz.tnlmcgill.ca/PredictAlz_Amy) agar publik global bisa menghitung sendiri kemungkinan terkena alzheimer. Tentunya, dengan memasukkan data hasil pindai PET Anda.
Baca: Makan Buah Anggur Setiap Hari Terbebas dari Alzheimer
Simak artikel menarik lainnya tentang kecerdasan buatan dan alzheimer hanya di kanal Tekno Tempo.co.
NEUROBIOLOGY OF AGING | LIVE SCIENCE