TEMPO.CO, Bandung - Kondisi geologi Ambon dan sekitarnya meredam potensi korban menyusul gempa beruntun puluhan kali sejak 31 Oktober 2017. “Ambon berada di batuan keras, jadi gelombang gempa tidak beresonansi,” kata Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Daryono, Kamis, 2 November 2017.
Baca: BPBD Ambon Imbau Masyarakat Pantau Info Gempa di BMKG
BMKG mencatat sedikitnya terjadi 88 kali gempa susulan. Gempa Ambon itu diawali tiga gempa antara pukul 18.31 hingga 18.46 WIB. Kekuatan magnitudonya berturut-turut, yaitu 5,7, kemudian 5,6 serta 4,4. Setelah itu, menurut Daryono, muncul gempa utama bermagnitudo 6,0 pada Selasa malam, 31 Oktober 2017, pukul 18.50.53 WIB.
Gempa utama itu bersumber di laut pada jarak sekitar 32 kilometer arah barat Kota Ambon, Provinsi Maluku, pada kedalaman 46 kilometer. Dampak guncangan kuat meliputi wilayah Ambon, Namlea, dan Saumlaki.
Potensi kerusakan terbukti terjadi pascagempa. "Gempa dangkal, diduga akibat aktivitas Sesar Naik Selatan Seram," kata Daryono. Rentetan aktivitas gempa itu merusak dinding serta meruntuhkan plafon, seperti yang terjadi di bandara dan mal.
Kepala Sub Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat Badan Geologi, Sri Hidayati, mengatakan gempa bermagnitudo 6 termasuk dalam kategori gempa menengah. Secara geologi, mayoritas Pulau Ambon tersusun atas batuan seperti vulkanik, lava, breksi, yang solid dan keras.
Baca: BMKG Catat Gempa Ambon Terjadi 88 Kali
Batuan vulkanik di sana, kata Sri, berumur Tersier yang relatif masih kompak dan keras. Batuan Tersier berumur kisaran 65 juta hingga 1,7 juta tahun lalu. Selain faktor batuan, gempa yang termasuk kategori berkedalaman dangkal itu jarak sumber gempanya ke Kota Ambon terhitung jauh, yaitu sekitar 50 kilometer. “Jadi energi gempa sudah meluruh,” kata Sri.
ANWAR SISWADI