TEMPO.CO, South Carolina - Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya menjadi astronot? Kedengarannya memang keren menjelajahi antariksa dan mengamati fenomenanya. Tapi, saat berada di antariksa, ternyata ada "ancaman" yang mengintai tubuh astronot, yakni perubahan stuktur otak.
Tubuh manusia modern, sejak berevolusi lebih dari 300 ribu tahun lalu, sudah beradaptasi dengan lingkungan dan gravitasi di bumi. Kini, perkembangan teknologi memungkinkan manusia untuk menjelajah antariksa. Namun ekspedisi ke luar angkasa yang minim gravitasi itu membawa perubahan drastis pada otak manusia.
Tinggal terlalu lama di luar angkasa terbukti mengubah struktur otak para astronaut. Hasil studi yang dimuat dalam New England Journal of Medicine November lalu menunjukkan adanya perubahan signifikan pada jaringan otak para astronaut yang mengikuti misi berdurasi panjang.
Menurut Donna Roberts, ahli radiologi saraf dari Medical University of South Carolina, Amerika Serikat, perubahan akibat mikrogravitasi itu bersifat permanen. Para peneliti masih belum memahami apa efek dari perubahan serius itu. "Apa yang dialami para astronaut perlu dicermati untuk merancang perjalanan antariksa yang lebih aman," kata Roberts, yang memimpin studi itu seperti ditulis Live Science.
Baca: NASA Akan Mengubah DNA Astronot untuk Misi ke Mars
Dalam riset tersebut, para peneliti memindai otak 34 astronaut sebelum dan setelah mereka melakukan misi ke luar angkasa. Ada 18 astronaut yang menjalani misi panjang, berdurasi rata-rata enam bulan, di Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Sisanya berpartisipasi dalam misi pendek yang berlangsung rata-rata dua pekan berupa penerbangan ulang-alik.
Hasil pemindaian menunjukkan otak para astronaut yang terlibat dalam misi panjang bergeser ke arah atas. Ruang-ruang cairan cerebrospinal (CSF) di sisi atas otak juga menyempit. CSF adalah cairan bening yang mengalir di antara otak dan melindungi jaringan lunak itu dari guncangan. Cairan ini juga mengalir di dalam jaringan saraf tulang belakang.
Pencitraan menunjukkan cairan CSF di bagian atas otak para astronaut lebih sedikit. Sebagian besar ditemukan di dalam rongga-rongga kecil otak alias ventrikel. Para peneliti menduga otak mendorong cairan itu menjauh dari bagian atas. Uniknya, tak satu pun para astronaut dalam misi jangka pendek mengalami perubahan itu.
Baca: Penganut Teori Bumi Datar Ini Jadi Bulan-Bulanan Astronot NASA
Sekitar 94 persen astronaut di misi jangka panjang juga mengalami penyempitan struktur otak di sisi sulkus sentral. Ini merupakan bagian kecil di puncak otak yang memisahkan lobus frontal dan parietal- dua dari empat lobus besar otak. Sementara itu, hanya 19 persen astronaut dalam misi jangka pendek yang mengalami perubahan serupa.
Menurut ahli saraf MUSC, Michael Antonucci, studi ini merupakan penilaian paling komprehensif mengenai efek perjalanan antariksa jangka panjang terhadap otak. "Perubahan itu mungkin bisa menjelaskan gejala-gejala aneh yang dialami para astronaut setelah kembali dari misinya," katanya seperti ditulis The Verge.
Sejumlah astronaut dalam misi berdurasi panjang di ISS juga dilaporkan mengalami gangguan penglihatan. Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyebutnya sebagai visual impairment intracranial pressure (VIIP) syndrome. Selain fungsi penglihatan yang menurun, cakram optik mata mereka membengkak dan ada peningkatan tekanan di dalam kepalanya.
Dari seluruh astronaut yang diteliti Roberts dan koleganya, tiga di antaranya mengalami gejala sindrom VIIP. Hasil pemindaian menunjukkan otak ketiganya juga mengalami pergeseran ke atas. Bagian sulkus sentral di otak mereka juga menyempit.
Sindrom VIIP diduga berhubungan dengan distribusi cairan tubuh ke kepala selama tubuh berada dalam kondisi dengan mikrogravitasi dalam jangka panjang. Namun penyebab pastinya hingga kini belum diketahui. "Hasil studi ini membantu mengidentifikasi isu penting dalam merancang eksplorasi antariksa jangka panjang, termasuk ke Mars," kata Antonucci.
Baca: Ada Astronot Tanpa Pakaian Antariksa, Misi Bulan Apollo 17 Palsu?
Hasil studi ini menjadi kunci penting, mengingat ilmuwan di NASA dan Badan Antariksa Eropa berencana mengirim manusia ke Mars pada 2033. Perjalanan menuju planet dengan gravitasi sepertiga bumi itu diprediksi berlangsung selama 3-6 bulan.
Dengan menghitung perjalanan pergi-pulang ke Mars dan durasi menetap, menurut Roberts, para kru bisa berada di lingkungan minim gravitasi setidaknya dalam tiga tahun. Namun belum diketahui apakah perubahan itu akan bertambah jika mereka tinggal dalam waktu lama.
"Ini teka-teki yang perlu dipecahkan, terutama apa dampaknya terhadap fungsi otak," katanya.
Baca: Begini Model Baru Baju Astronot dari Masa ke Masa
Simak artikel menarik lainnya tentang astronot hanya di kanal Tekno Tempo.co.
NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE | LIVE SCIENCE | THE VERGE | FUTURISM | NEW YORK POST