TEMPO.CO, Roma - Gunung tertinggi, Gunung Everest, bisa mendorong pendaki bertingkah gila untuk sementara waktu. Dan kini, periset mengatakan episode psikotik ini merupakan kondisi medis seseorang dan mungkin berbeda dari penyakit ketinggian.
Baca: Jangan Kaget, Gunung Everest Bergeser 1 Inci
"Pegunungan sangat indah, tapi kami tidak berharap bisa membuat kita gila," kata penulis studi Dr. Hermann Brugger, kepala Institute of Mountain Emergency Medicine di Eurac Research, Bolzano, Italia, kepada Live Science, Senin 18 Desember 2017. Para peneliti merinci temuan mereka pada 5 Desember di jurnal Psychological Medicine.
Pada ketinggian ekstrem, pendaki gunung sering menyebutkan mengalami psikosis, yaitu gangguan mental di mana seseorang tidak lagi berhubungan dengan kenyataan. Gejala episode psikotik meliputi halusinasi dan delusi.
Misalnya, ketika pendaki gunung dan ahli anestesi Dr. Jeremy Windsor mendaki Gunung Everest pada 2008, dia mengalami pengalaman aneh yang biasa terjadi di gunung yang ekstrem.
Sendirian di Himalaya di ketinggian lebih dari 5,1 mil (8,2 kilometer), Windsor berhalusinasi seorang pria bernama Jimmy, yang menemaninya sepanjang hari, mengucapkan kata-kata yang menggembirakan kepadanya dan kemudian lenyap tanpa bekas.
Sampai sekarang, dokter umumnya mengira episode psikotik seperti itu adalah gejala penyakit ketinggian, di samping sakit kepala parah, pusing dan gangguan keseimbangan.
Penyakit ketinggian adalah akibat kekurangan oksigen yang dialami di dataran tinggi, dan bisa memicu penumpukan cairan yang berpotensi mematikan di paru-paru atau otak.
Namun dalam analisis baru, Windsor dan rekan-rekannya menemukan bahwa "psikosis ketinggian terisolasi" mungkin adalah kondisi medis, yang berbeda dari penyakit ketinggian.
Untuk mencapai kesimpulan tersebut, para peneliti menganalisis data dari 83 episode psikotik di dataran tinggi yang dikumpulkan dari literatur gunung Jerman. Mereka menemukan daftar gejala psikotik, seperti mendengar suara-suara, yang terkait dengan ketinggian tapi sangat jelas tidak selalu terhubung dengan gejala fisik penyakit ketinggian atau penyakit jiwa masa lalu.
"Orang-orang yang menderita episode ini di tempat tinggi adalah benar-benar sehat, mereka tidak rentan terhadap psikosis," kata Brugger.
Psikosis ketinggian terisolasi sangat mungkin terjadi pada ketinggian melebihi 22.965 kaki (7.000 meter) di atas permukaan laut, menurut para peneliti.
Namun mereka tetap tidak yakin akan penyebabnya, mungkin penyebab serupa dengan penyakit di belakang ketinggian, seperti kekurangan oksigen atau tahap awal pembengkakan di area otak tertentu.
Mungkin juga penyebabnya bukan karena ketinggian sama sekali. "Juga dikenal bahwa kekurangan kontak sosial dan kesepian untuk waktu lama dapat memprovokasi halusinasi," kata Brugger.
Gejala sindrom ini rupanya lenyap sama sekali setelah pendaki gunung meninggalkan zona bahaya itu, menurut para peneliti. "Mereka benar-benar pulih," kata Brugger.
Namun, sindrom ini jelas terkait dengan risiko kecelakaan yang signifikan, "dan bahkan sedikit kesalahan bisa berakibat fatal pada ketinggian yang ekstrem," kata Brugger.
Baca: Gawat! Suhu Udara di Gunung Everest Bertambah Hangat
"Penting agar para pendaki menyadari risiko ini, bahwa mereka tahu bahwa halusinasi ini tidak nyata, bahwa efek ini dapat dibalik, dan untuk menemukan beberapa tindakan penanggulangan selama pendakian mereka."
Simak berita tentang Gunung Everest di tempo.co
LIVE SCIENCE