TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan 5G tak hanya mendatangnya berbagai kemudahan dalam kehidupan, tapi diprediksi meningkatkan ekonomi. Berdasarkan hasil studi "The 5G Economy" yang digagas oleh Qualcomm dan dilaksanakan oleh berbagai perusahaan riset, rantai nilai (value chain) 5G di seluruh dunia akan menghasilkan pendapatan hingga US$ 3,5 triliun atau setara dengan atau Rp 46,7 triliun pada 2035.
Selain itu, masih dalam riset yang sama, jaringan 5G akan membuka 22 juta lapangan pekerjaan. Selain itu, 5G memungkinkan terciptanya distribusi barang dan jasa berskala global yang bernilai hingga US$ 12,3 triliun pada tahun yang sama.
Baca: Apple Uji Coba 5G, Apa Kelebihan Jaringan Ini?
Kepala Riset dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika, Basuki Yusuf Iskandar, mengatakan implementasi teknologi 5G adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Penggunaan teknologi ini dapat mengubah gaya hidup tidak hanya bagi konsumen, namun juga industri.
Sebab, selain memberikan kecepatan transfer data dengan kapasitas yang lebih besar, 5G menawarkan latensi yang sangat rendah dan jangkauan yang lebih luas. Dengan demikian, ini sangat cocok diterapkan untuk menyelesaikan tugas yang memerlukan ketepatan dan kestabilan koneksi tinggi.
"Yang terpenting saat ini untuk kita lakukan bersama adalah mempersiapkan konsolidasi operator sehingga sumber daya frekuensi yang terbatas dapat digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan publik," kata Basuki, 6 Januari 2018.
Baca: EVP Ericsson Global, Fredrik Jejdling: Banyak PR untuk 5G
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia, Kristiono, melihat potensi besar yang dapat ditawarkan oleh implementasi 5G, baik bagi konsumen maupun ekonomi global, penting bagi Indonesia untuk sedini mungkin mempersiapkan diri menyambut era 5G ini. "Indonesia seharusnya tidak hanya sekadar pasar dan pengguna teknologi ini," kata dia.
Menurut dia, pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan terkait melihat peluang apa yang dapat diambil oleh Indonesia dalam era 5G ini. "Operator telekomunikasi di Indonesia harus berperan dari awal, dan secara serius mengikuti perkembangan dan langsung terlibat di dalamnya," ujar dia.
Baca: Gigabita, Ponsel Cerdas 5G Pertama di Dunia
Pengamat teknologi informatika, Heru Sutandi, mengatakan adopsi 5G di Indonesia bukan soal perlu atau tidak, melainkan merupakan kebutuhan shifting teknologi lawas seperti 2G atau 3G ke teknologi baru, termasuk Wi-Fi. "Tapi memang harus dilihat sebarapa urgent kita untuk segera mengadopsi teknologi ini," kata dia. Heru pun menyarankan agar Indonesia tidak mengadopsi teknologi 5G ini secara tergesa-gesa. Sebab, pada versi awal, biasanya masih terbatas fitur maupun kemampuannya.
Heru mencontohkan, seperti saat 3G, pada awal kecepatan hanya 2 Mbps, kemudian setelah muncul HSDPA, HSPA, HSPA++ kecepatannya lebih tinggi dan teknologinya lebih stabil. "Saya pernah kerja di vendor perangkat telekomunikasi di Eropa, jadi tahu biasanya kemampuan awal teknologi yang dilepas ke pasar itu paling maksimal 50 persen," ujar Heru.
Karena itu, Heru menyarankan, jika teknologi 5G ditetapkan pada 2019, sebaiknya Indonesia mengadopsi teknologi ini pada 2022 atau 2023. "Sambil menyiapkan apa yang bisa disumbang teknologi baru ini dari Indonesia atau lokal sendiri. Jangan sampai kita hanya jadi pasar."
Baca: Siap-siap, Spesifikasi 5G Pertama Telah Disetujui
Simak artikel menarik lainnya tentang 5G hanya di kanal Tekno Tempo.co.