TEMPO.CO, Jakarta - Dmitri Alperovitch, dari perusahaan keamanan siber Crowdstrike, mengatakan bahwa Korea Utara memiliki ancaman serangan siber lebih besar dibandingkan Rusia.
“Tahun ini, saya khawatir bahwa Korea Utara dapat melakukan serangan yang merusak khususnya di sektor keuangan, dalam upaya mencegah serangan Amerika terhadap fasilitas nuklir mereka dari pada Rusia,” ujar Alperovitch, seperti dilansir laman The Guardian pada 26 Februari 2018.
Baca: Tingkatkan Keamanan Siber, Dimension Data Gandeng Cisco Umbrella
Menurut informasi, Korea Utara telah terlibat dalam sejumlah serangan siber selama beberapa tahun terakhir, terutama terhadap Korea Selatan. Sebuah kelompok peretas bernama Lasarus diyakini berasal dari Korea Utara.
Lasarus telah menciptakan dan menggunakan Ransomworm WannaCry. Malware tersebut menyebar dengan cepat melalui sistem teknologi informasi di seluruh dunia dan memaksa sejumah lembaga kesehatan di Inggris bahkan Indonesia ditutup.
“Tahun lalu, serangan siber tidak hanya mengalami kenaikan, tapi serangan tersebut menggambarkan bahwa tingkat kecanggihan itu akan menjadi ancaman secara global,” kata dia.
Laporan tahunan Crowdstrike menunjukkan bahwa di masa depan bukan hanya negara dengan peretas handal yang dapat merusak. Namun, teknologi yang dikembangkan militer juga akan merusak jika berada di tangan para kriminal.
Selain itu, laporan tersebut menjelaskan bahwa negara yang disebut Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) akan terus melakukan aktivitas serangan siber untuk Korea Selatan, Jepang dan Amerika melalui alat akses jarak jauh.
“Beberapa penargetan khusus mewakili sikap dari DPRK yang dapat memberikan dampak kerusakan infrastruktur penting di Amerika jika terjadi konflik militer,” tertulis dalam laporan tersebut.
Simak artikel menarik lainnya tentang keamanan siber hanya di kanal Tekno Tempo.co
THE GUARDIAN