TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar padi hibrida terkemuka India Profesor Ebrahimali Abubacker Siddiq dari The Professor Jayashankar Telangana State Agricultural University, India, menyebutkan negara-negara Asia Tenggara tidak berhasil meniru Cina, negara paling maju yang menerapkan pengembangan teknologi padi hibrida.
Baca: Indonesia Masih Kekurangan Peneliti Padi Hibrida
Cina punya 55,5 persen lahan padi hibrida dari total sawah yang mereka punya. Sedangkan, di negara-negara Asia Tenggara, di antaranya Indonesia dan Filipina kurang dari 10 persen dari total luas sawah mereka.
Profesor Ebrahimali menyentil pemerintah negara-negara Asia Tenggara yang tidak memberikan dukungan dana memadai untuk penelitian dan pengembangan benih hibrida dalam simposium The International Rice Research Institute (IRRI) di Yogyakarta, 27 Februari-1 Maret 2018.
Acara itu mempertemukan 257 pakar padi hibrida dari 12 negara. Mereka saling berbagi pengalaman dan melihat perkembangan padi hibrida dunia.
Ebrahimali dikenal sebagai ilmuwan yang meneliti genetika dan pemuliaan tanaman. Ia menerima penghargaan tertinggi dari Pemerintah India karena ketekunannya mengembangkan padi hibrida.
Menurut dia, di Asia Tenggara padi hibrida dipandang kurang menarik dan tidak konsisten menghasilkan keuntungan. Padi jenis ini rentan terhadap penyakit dan hama. Selain itu, hibrida hanya cocok ditanam dengan dukungan musim dan ekologi yang baik. “Ongkos untuk membeli benih hibrida mahal. Di Cina benih hibrida murah,” kata Ebrahimali.
Untuk mempertahankan teknologi pengembangan padi hibrida, menurut dia, perlu kemudahan dalam pertukaran plasma nuftah antar-negara. Ini penting untuk mendorong partisipasi aktif program pengujian hibrida internasional.
Menurutnya, penelitian padi hibrida seharusnya diperbanyak dan perlu perlindungan melalui hak kekayaan intelektual. Kalangan swasta juga perlu diberi ruang lebih leluasa untuk meneliti padi hibrida.
Hal lainnya yang tidak kalah penting, kata dia, adalah pemerintah di negara Asia Tenggara harus berkomitmen untuk menyediakan dukungan dana yang memadai untuk riset dan pengembangan padi hibrida. “Perlu kebijakan tegas mengenai metode pemuliaan-seleksi dan metodologi produksi benih inovatif padi secara progresif,” kata dia.
Peneliti padi hibrida dari Badan Litbang Pertanian, Satoto, mengatakan jumlah peneliti padi hibrida sangat sedikit. Dia mencontohkan di timnya hanya ada lima orang peneliti. Jumlah peneliti padi hibrida Indonesia, kata dia, kalah jauh ketimbang Cina yang setiap distrik punya seorang profesor yang ahli padi hibrida.
Indonesia mengimpor induk benih padi dari Cina dan India karena Badan Litbang Pertanian tidak diberi mandat untuk melakukan komersialisasi. Perakitan benih ada di Badan Litbang, tapi pemegang lisensinya bisa siapa saja.
“Bicara padi hibrida bicara bisnis. Petani harus beli benih setiap musim tanam,” kata Satoto. Itu alasan mengapa Indonesia mengimpor indukan benih padi hibrida dari Cina dan India.
Satoto menyebut tidak ada aturan tentang pengadaan benih padi hibrida. Dari total 19 benih padi hibrida yang dikeluarkan Badan Litbang, tujuh di antaranya telah mendapatkan lisensi.
Deputi Direktur Jenderal IRRI dari Filipina, Bruce J. Tolentino, menyebutkan tahun 2030, dunia harus menghasilkan 135 juta ton beras untuk memenuhi konsumsi beras secara global. Jumlah itu 30 persen lebih tinggi dibanding 2010.
Baca: Inovasi Bioteknologi Padi Ciherang Aromatik Diluncurkan
Padi hibrida punya produktivitas lebih tinggi ketimbang padi non-hibrida. Dalam kondisi iklim dan budidaya yang ideal, panenan padi hibrida bisa mencapai 20 persen lebih tinggi. Itulah mengapa padi hibrida diperlukan untuk mencukupi konsumsi masyarakat dunia.
SHINTA MAHARANI