TEMPO.CO, Kanada - Food and Agricultural Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa membawa isu resistensi antimikroba (AMR) dalam Kongres One Health di Saskatoon, Kanada, 22-25 Juni 2018.
Baca: FAO: Pertanian Indonesia Jadi Tempat Studi Dunia
Chief Technical Advisor FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Disease (ECTAD), Luuk Schoonman, mengatakan AMR menjadi persoalan global yang dibahas dalam Kongres One Health tahun ini. AMR dibahas dalam sesi khusus di Kanada yang melibatkan para akademisi kampus.
Sesi khusus ini di antaranya membicarakan tentang penggunaan agen antimikroba, penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan, makanan dan pertanian, serta hubungan antara AMR dan dampak lingkungan. Satu di antaranya adalah Jaap Wagenaar dari Universitas Utrecth Belanda. Jaap Wagenaar mengenal baik Indomesia karena pernah menjadi konsultan tentang vaksinasi dan AMR.
Semua anggota PBB, termasuk Indonesia, punya komitmen mengurangi bakteri antimikroba. AMR menjadi penting karena berhubungan dengan pemenuhan produksi daging oleh binatang dan konsumsi manusia. “Yang menjadi persoalan di Indonesia adalah penggunaan antibiotik yang berlebih,” kata Luuk.
FAO menekankan semua negara menggunakan perannya untuk mengatasi resistesi antimikroba, misalnya mendorong peternak menerapkan biosecurity untuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan dan vaksinasi.
Ketika terjadi AMR, maka produksi pangan terganggu dan membahayakan manusia. Penggunaan antibiotik berlebihan pada binatang seperti ayam broiler dan petelur membahayakan tubuh manusia. One Health menggunakan pendekatan kesehatan hewan, kesehatan manusia dan lingkungan.
FAO dan WHO sebagai bagian dari PBB berkolaborasi melalui One Health untuk mengatasi AMR. Fokus FAO adalah memastikan ketersediaan pangan dan kesehatan hewan ternak. Pada kesehatan hewan ternak, misalnya, mengantisipasi penyakit. “Keamanan produksi pangan dan konsumsi yang sehat harus dijamin sepenuhnya,”
Indonesia gencar mengatasi AMR sejak dua tahun lalu. Itu terlihat dari implementasi rencana aksi nasional pengendalian resistensi antimikroba 2017-2019. Rencana aksi ini melibatkan kerja sama lintas kementerian, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi, BPOM, Kementerian Pertahanan, BPOM, WHO, dan FAO.
Kasubdit Pengawasan Obat dan Hewan Kementerian Pertanian, Ni Made Ria Isriyanthi, mengatakan rencana aksi nasional lintas kementerian itu meliputi pemahanan tentang resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan melalui surveilans dan penelitian.
Selain itu, mengoptimalkan penggunakan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan. Ada juga meningkatkan investasi temuan obat alat diagnostik dan vaksin baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba.
Dalam Kongres One Health, Indonesia membawa poster yang menggambarkan hasil penelitian penggunaan antibiotik di peternakan broiler skala kecil dan menengah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. “Tiga daerah ini menjadi daerah percontohan penelitian karena menjadi pusat produksi ayam broiler,” kata Ni Made.
Ni Made Ria Isriyanthi merupakan dokter hewan yang ahli tentang AMR. Dia menjadi satu di antara perwakilan dari Kementan yang ikut serta dalam Kongres One Health di Kanada. Selain itu, ada dokter hewan dari Direktorat Kesehatan Hewan Kementan, Pebi Purwo Suseno yang menguasai tentang One Health.
Pemerintah Indonesia, kata Ni Made, telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan berlaku efektif mulai 1 Januari 2018. Kementerian Pertanian memperketat pengawasan terhadap peternak dan menyiapkan sanksi bagi yang melanggar.
Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan terdapat dalam Pasal 16 Permentan Nomor 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Beleid larangan tersebut mengacu pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sulit untuk disembuhkan. Satu di antara contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunaan antibiotika.
Resistansi antimikroba dapat mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Jika tubuh kebal terhadap antimikroba, maka prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi sangat berisiko. Efek dari kondisi ini, pasien harus menanggung perawatan lebih lama dan mahal.
Simak artikel lainnya tentang FAO Indonesia di kanal Tekno Tempo.co.
SHINTA MAHARANI