TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat tradisional Kupang ternyata tidak asing dengan astronomi. Itu menjadi salah satu alasan dibangunnya fasilitas observatorium di lereng Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca: Kisah Ahli Astronomi Berburu Exomoon: Mencari Kehidupan Baru
Mereka sudah menggunakan bintang-bintang sebagai penanda waktu dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu mata pencaharian masyarakat di sekitar Gunung Timau adalah memanen madu lebah hutan (Apis dorsata) di sekitar Gunung Timau dan Mutis.
Menariknya, berdasarkan keterangan yang diterima Tempo baru-baru ini, masyarakat memakai gugus bintang Pleiades untuk menentukan kapan madu hutan boleh dipanen. Mereka memanen madu saat Pleiades, dalam bahasa mereka disebut sebagai Maklafu (yang berarti sampah), terbit di timur ketika ternak masuk kandang (jam 6 sore).
Selain itu, dalam kegiatan menggarap lahan pertanian, masyarakat juga memakai posisi bintang untuk menentukan kapan memulai menggarap sawah. Hal ini karena mereka hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk mengairi sawah.
Masa awal cocok tanam ditandai dengan terbitnya empat bintang yang mereka sebut sebagai Kuaha’in. Dari telaah awal tim Pussainsa LAPAN, ternyata bintang yang dimaksud diduga sebagai bintang-bintang: Capella, Betelgeuse, Sirius dan Procyon.
Di samping Kuaha’in, ada juga Nua’in (dua bintang) yang diduga bintang Aldebaran dan Rigel. Kedua bintang tersebut dipakai ketika terbitnya Kuaha’in tidak disusul dengan turunnya hujan.
Konstelasi Orion juga mereka pakai sebagai pedoman awal bercocok tanam. Tiga bintang di sabuk Orion (Mintaka, Alnitak, Alnilam) yang mereka sebut Aloi Tua dan digambarkan sebagai dua orang yang sedang mengangkat guci (atau dalam bahasa mereka kumbang) berisi sopi (minuman tradisional masyarakat Kupang).
Terbitnya ketiga bintang tersebut berada di timur menjelang Matahari terbit sebagai penanda awal musim tanam. Namun, tradisi memakai benda langit sebagai panduan kegiatan masyarakat sudah mulai ditinggalkan.
Dengan dibangunnya Observatorium Nasional, diharapkan bisa mendorong masyarakat Kupang untuk mengenal tradisi leluhur dalam memanfaatkan astronomi bagi kehidupan masyarakat. Ini juga membuka kesempatan bagi para akademisi untuk melakukan studi lintas disiplin ilmu seperti etno-astronomi yang lebih mendalam.
Simak artikel menarik lainnya tentang astronomi dan Observatorium Timau di kanal Tekno Tempo.co