TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan pencipta inovasi teknologi energi fuel cell, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan awal mula hadirnya teknologi tersebut hingga mendapatkan BJ Habibie Technology Award 2018. Inovasi yang dirancangnya tersebut bisa mengubah gas hidrogen menjadi listrik.
Eniya memenuhi beberapa kriteria penilaian untuk dapat menerima BJHTA 2018 yakni, invention for technology advancement, recognition of international journals, recognition of papers international symposiums, recognition of the leadership of scientific association dan recognition of the patent.
Baca juga: Ilmuwan Perempuan Ini Raih BJ Habibie Technology Award 2018
"Awalnya waktu SMA saya menyukai apapun yang berbau ramah lingkungan. Semua yang berbau ramah lingkungan itu sehat. Setelah kuliah di Jepang dan pulang saya bicara masalah baterai, yang ternyata Deputi saya menyarankan fuel cell," ujar Eniya saat ditemui Tempo di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang pada akhir pekan lalu.
Setelah lulus dari SMA 1 Magelang pada 1992, Eniya bergabung dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dan mendapatkan beasiswa STAID yang merupakan program BJ Habinie untuk melanjutkan pendidikan S1 di Waseda University. Kemudian setelah itu pulang dan kembali bergabung di bidang energi BPPT. Saat ini Eniya menjabat sebagai Deputi Kepala BBPT Bidang Teknologi Agroindustri Bioteknologi.
Baca juga: Ilmuwan Temukan Partikel Hantu Neutrino di Antartika
Teknologi fuil cell kapasitas 2,5 kilowatt buatan Eniya Listiani Dewi. TEMPO/Khory
Setelah mendapatkan saran dari salah satu Deputi BPPT saat itu, Eniya berujar bahwa dirinya paham betul mengenai fuel cell. Namun, kata dia, penerapan fuel cell di Indonesia membutuhkan waktu yang lama.
"Saya bilang begitu, karena masih future, tapi koor kompeten saya memang disitu dan bisa diaplikasikan seperti baterai. Bisa pakai fuel cell karena sistemnya cuma anoda dan katoda, sama persis seperti baterai," kata ibu dengan tiga anak itu.
Perbedaan antara baterai dengan fuel cell, kata dia, adalah asupan bahannya saja, tapi barangnya memilili manfaat yang sama. Baterai menggunakan bahan serbuk logam, sedangkan fuel cell memakan gas hidrogen. Berangkat dari saran tersebut, wanita yang berusia 44 tahun itu mulai mencoba mengembangkan fuel cell berbahan hidrogen di Indonesia.
Baca juga: Ilmuwan Ini Berhasil Menangkap Pelangi: Simak Kisahnya
"Karena dulu waktu di Waseda, saya sebenarnya ingin mengaplikasikan fuel cell, tapi tidak diperbolehkan sama profesor saya karena menggunakan hidrogen. Alasannya berbahaya. Profesor meminta saya untuk pakai baterai oksigen saja," tambah dia. "Hidrogen itu kan fasilitasnya khusus jadi di laboratorium saya kalau untuk percobaan temporari saja, harus diruangan khusus dengan lubang udara."
Proses perubahan gas hidrongen menjadi listrik adalah dimulai dari memasukkan metanol yang bereaksi pada karbon. Kemudia ada katalis yang melewati membran, lalu bertemua dengan oksigen atau udara. Melalui proses tersebut, nantinya liquid fuil berubah menjadi listrik.
Baca juga: Ilmuwan: Robot Seks Tidak Punya Manfaat Medis
Simak kabar terbaru dari ilmuwan lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.