TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Eyes on the Forest (EoF) menunjukkan masih ada kebun kelapa sawit yang ditanam di kawasan taman nasional di Sumatera. Hal ini, menurut EoF, telah melanggar perjanjian bebas deforestasi bagi pelanggannya. EoF merupakan koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap hutan di Indonesia.
Baca juga: Diplomasi Sawit Indonesia
"Ini tentang kebun sawit yang ilegal di Tesso Nilo, taman Nasional yang dirambah untuk perkebunan sawit. EoF menelusuri buah tandannya dibeli dan dibawa ke mana. Kemudian setelah ditelusuri, ujungnya berakhir masuk ke grup Wilmar, Asian Agri, Musim Mas, Golden Agri Resources (GAR)," ujar Director Policy and Advocation World Wildwife Fund (WWF) Indonesia Aditya Bayunanda saat dihubungi Tempo melalui telepon, Senin, 23 Juli 2018.
Laporan investigasi tersebut dikerjakan oleh EoF yang terdiri dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan WWF. Rangkaian investigasi ini dilakukan sejak 2011 dan mengidentifikasi 22 pabrik yang membeli buah kelapa sawit. Yang merupakan tandan buah segar (TBS), hasil penanaman illegal di dalam area hutan lindung dan kawasan hutan di Sumatera bagian tengah, Tesso Nilo, dan Bukit Tigapuluh. Kawasan tersebut merupakan habitat gajah dan harimau.
Baca juga: Sejarah Bisnis Kelapa Sawit dan Dampaknya
Menurut laporan EoF, 75 persen lahan Taman Nasional Tesso Nilo telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal dan menghancurkan habitat terakhir yang tersisa bagi spesies yang terancam punah. Rangkaian investigasi EoF mengungkap bagaimana kelapa sawit dapat masuk sebagai rantai pasokan pada tahapan yang berbeda.
"Mereka tidak membantah dan itu juga sebetulnya bukan laporan pertama tapi keempat yang diterbitkan. Yang menarik itu adalah pihak Asian Agri beberapa kali tertangkap melakukan pembelian ilegal, Wilmar menjadi salah satu supplier-nya dan berkali kali terdeteksi membawa atau membeli buah tandan yang ilegal," tambah Aditya. "Sementara Musim Mas dan GAR sudah dipancing stationnya bahwa itu terkontaminasi."
Dalam laporan investigasi EoF yang diterima Tempo, 19 Juli 2018, Palm Oil Leader WWF Global Elizabeth Clarke menyatakan kekecewaannya. "Itu jelas mengorbankan hutan," ujar Clarke. "Perusahaan harus berhenti mengambil kelapa sawit dari perkebunan yang tidak berkelanjutan. Juga, membangun sistem yang ketat untuk mencapai rantai pasokan bebas deforestasi."
Dalam laporan tersebut tertulis, Sumatera telah menjadi pusat produksi utama bagi para pedagang kelapa sawit besar. Analisa gambar satelit dari EoF menemukan bahwa Sumatera kehilangan 56 persen dari 25 miliar hektar hutan dalam 30 tahun terakhir, dengan hanya 11 miliar hektar tersisa pada 2016.
Baca juga: Fakta Semu Ekonomi Sawit
Laporan itu juga mengungkap bahwa 21 dari 22 perusahaan dapat menjual kelapa sawit illegal secara tidak langsung. Bahkan, dalam beberapa kasus dilakukan secara langsung kepada pedagang dan merek global utama. "Tanpa upaya yang saya sebutkan tadi, kelapa sawit tercemar, dan akan terus mengalir dalam rantai pasokan yang berakhir di keranjang belanja tanpa disadari konsumen," tambah Elizabeth.
Tempo mencoba menghubungi keempat perusahaan tersebut, tapi hanya tiga perusahaan yang berhasil memberikan konfirmasi terkait hal itu. Konsultan Komunikasi Wilmar Group Lutfie Subagio menjelaskan bahwa persoalan deforestasi pernah dibantah oleh Wilmar.
"Saya sudah teruskan ke pihak perusahaan, karena saya tidak punya kapasitas mewakili perusahaan. Tapi setahu saya deforetasi itu sudah pernah dibantah oleh Wilmar," ujar Lutfie melalui pesan singkat, Jumat, 20 Juli 2018.
Sedangkan RGE, melalui Asian Agri menjelaskan, bahwa EoF sudah meminta klarifikasi melalui surat tertanggal 25 Mei 2018 terkait temuan yang dipublikasikan itu. "Asian Agri telah mengirimkan surat balasan yang berisi klarifikasi dan bukti terhadap temuan dari EoF yang menyatakan bahwa PT Inti Indosawit Subur menerima 1,5 ton Tandan Buah Segar dari TNTN pada tanggal 17 Juni 2017," Corporate Communication and External Affairs Asian Agri Ignatius Purnomo saat dihubungi melalui email, Jumat, 20 Juli 2018, tanpa menjelaskan lebih detail peran detail PT Inti Indosawit Subur.
Asian Agri langsung melakukan investigasi ke lokasi pada tanggal 23 Mei 2018 dan meneliti rekam jejak laporan rantai pasok. Hal itu dilakukan untuk mengumpulkan data sekaligus meninjau kembali laporan pada tanggal 17 Juni 2017 untuk memastikan kesesuaian data. "Kami telah mengambil langkah tegas untuk permasalahan ini yaitu dengan menangguhkan truk pemegang order pengiriman yang dilaporkan pada 24 Mei 2018. Asian Agri berkomitmen untuk memproduksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan bertanggung jawab," tambah Ignatius.
Baca juga: Masalah Lingkungan Ancam Ekspor Sawit Indonesia
Sementara Musim Mas, melalui Corporate Commuications Carolyn Lim, menjelaskan bahwa Musim Mas berbagi dengan EoF tentang kekhawatiran di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo. Juga menyadari akan perlunya komitmen kuat dari industri untuk melindungi hutan.
"Strategi kami dalam menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) oleh perusahaan besar minyak kelapa sawit sejak 2014," ujar dia melalui email, Selasa, 24 Juli 2018. "Pekerjaan kami dalam upaya menciptakan transformasi di lapangan telah terbukti rumit dan menantang".
Lanskap Tesso Nilo, kata Carolyn, mewakili sebuah mikrokosmos tantangan yang dihadapi di seluruh Indonesia. Semua pemangku kepentingan, dia berujar, perlu terlibat dalam perencanaan perlindungan hutan. Dalam jangka panjang, rencana tersebut juga perlu melibatkan pertimbangan lingkungan sosial dan lingkungan lainnya. "Sebagai anggota Palm Oil Innovation Group, kami juga bekerja keras untuk mempengaruhi penyerapan solusi kreatif untuk tantangan keberlanjutan," tambah Carolyn.
Baca juga: Akrobat Lahan Raja Sawit | TEMPO.CO INVESTIGASI
Simak permasalahan lainnya tentang sawit dan laporan dari Eyes on the Forest hanya di kanal Tekno Tempo.co.
Keterangan:
Dalam artikel di atas sebelumnya kami menyebut Musim Mas sebagai anak perusahaan dari Golden Agri Resources (GAR). Faktanya, hal tersebut salah. Pada pukul 09.25 WIB keterangan tersebut telah kami hapus. Atas kesalahan tersebut redaksi kanal Tekno Tempo.co memohon maaf.