TEMPO.CO, Jakarta - Dua media asing memberitakan bahwa terjadi peningkatan polusi udara di Jakarta dalam beberapa beberapa tahun terakhir yang dikhawatirkan bakal berdampak terhadap atlet Asian Games 2018.
Baca: Ratusan Relawan Membersihkan Sampah Saat Pembukaan Asian Games
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan tudingan ihwal buruknya kualitas di Jakarta adalah tidak benar. Menurut dia, Indonesia sudah seringkali dituding sebagai negara yang paling emisif gas rumah kacanya di dunia.
"Namun penilaian dan penelitian lembaga ternama lainnya maupun data real GRK terukur di lapangan pun membantah tudingan itu," kata Dwikora melalui keterangan tertulis, Sabtu, 18 Agustus 2018.
Pada 17 Agustus 2018 lalu, Al Jazeera menurunkan berita berjudul “Air pollution welcomes athletes in Jakarta for Asian Games“. Dalam berita bahkan menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
"Dengan mengacu 'standar WHO' ada pihak pihak yang mengatakan pada beberapa hari tingkat polusi udara Jakarta lebih buruk daripada Beijing, RRC," ujarnya.
Selain itu, pemberitaan BBC Indonesia juga menyebut demikian. Bahkan, BBC Indonesia menulis menjelang Asian Games 2018, Jakarta jadi kota berpolusi udara 'paling parah' di dunia.
Selain itu, pada tahun 2004, Reuters menurunkan tulisan yang menyebut Indonesia sebagai negara emitter atau penyumbang emisi terbesar ketiga dunia karena deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan.
Tulisan tersebut didasarkan pada laporan penelitian yang dibuat oleh sebuah lembaga konsultan penelitian lingkungan Indonesia yang mendapat sponsor dari Bank Dunia dan British Development Arm.
Pada 10 tahun kemudian, yaitu tahun 2014, World Resources Institute (WRI) masih menempatkan Indonesia dalam urutan keenam yang menyumbang 4 persen dari total kumulatif emisi GRK dunia periode 1990-2011. Perhitungan total kumulatif GRK itu sudah menyertakan perubahan guna lahan dan kehutanan.
Namun tahun 2017 lalu, sebuah penelitian terbaru oleh Boden dkk yang berjudul National CO2 Emissions from Fossil-Fuel Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring yang diterbitkan oleh Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy ternyata tidak menyertakan Indonesia di dalam 6 enam negara emitter dunia terbesar.
Adapun negara penyumbang emisi dunia yang disebutkan oleh studi tersebut, di antaranya Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Federasi Rusia dan Jepang.
Senada dengan paper ilmiah tersebut, laporan Climate Change Performance Index pada 2018 juga mengeluarkan Indonesia dari 10 besar penyumbang emisi terbesar dunia. Lembaga tersebut menempatkan Indonesia di ranking 14.
"Indonesia masih diklasifikasikan sebagai negara berkinerja rendah di tahun 2018 ini sebab tren masa lalu dan status emisi GRK per kapita saat ini dinilai masih sangat rendah," ujarnya.
Secara bukti data pun, hasil pengukuran GRK di Bukit Koto Tabang selama 14 (empat belas) tahun terakhir sejak tahun 2004, laju kenaikan CO2 di Indonesia adalah 1,94 ppm, tidak setinggi konsentrasi hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa (USA), bahkan masih dibawah kenaikan rata-rata global sebesar 2,08 ppm.
Menurut Dwikora, tuduhan polusi Jakarta terparah di dunia itu berbeda dengan apa yang dirilis The New York Times, pada Juni 2017 lalu. Saat itu, The New York Times menulis bahwa ranking 10 negara terburuk dalam hal polusi, adalah Cina, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Arab Saudi, Korea Selatan dan Kanada,
Penelitian terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kota-kota yang paling tercemar di dunia pun menunjukkan, dari 10 kota paling tercemar di dunia, sembilan di antaranya ada di India, dan satu di Cameroon.
"Jakarta atau Indonesia sendiri tidak termasuk di dalam negara-negara yang dirilis WHO dari paparan polusi udara dan dampak kesehatan," ucapnya.
Simak artikel lainnya tentang Asian Games 2018 di kanal Tekno Tempo.co.