TEMPO.CO, Bandung - Kedokteran nuklir menggabungkan diagnostik dan terapi (teranostik) untuk penyembuhan aneka penyakit kanker. Perkembangan terbaru, dosis radioaktif untuk terapi atau pengobatan kini mulai lebih spesifik berdasarkan kondisi penyakit pasien.
Baca: 2 Mahasiswa Baru Kedokteran Unpad Berusia 15 Tahun
"Orang yang sakitnya sama, karakteristiknya beda, perlu diyakinkan dulu ini tipe sakitnya seperti apa," kata Achmad Hussein Kartamihardja di sela pertemuan ilmiah tahunan internasional kedokteran nuklir ke-22 di Bandung, 14-16 September 2018.
Guru Besar Kedokteran Nuklir dari Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu mengatakan, di dunia kedokteran telah terjadi pergeseran sudut pandang pengobatan. Dari semula hanya evidence-based medicine ke personalized medicine atau target terapi berdasarkan kondisi individual pasien.
Cara terapi itu sangat membutuhkan pencitraan molekuler yang bisa dilakukan oleh metode kedokteran nuklir. Saat ini misalnya pencitraan itu telah diterapkan pada nuklir kardiologi atau kedokteran nuklir yang terkait dengan pemeriksaaan jantung.
Penilaian molekuler itu mengabarkan kondisi dan fungsi otot jantung secara fisiologis. Informasi serupa menurut Hussein, sulit diperoleh dari citra anatomi semata pada manajemen kasus-kasus kardiovaskuler. "Dengan beban epidemi penyakit kardiovaskuler yang semakin meningkat, peran nuklir kardiologi akan semakin vital untuk mencegah kejadian kardiovaskuler seperti serangan jantung dan stroke."
Selama ini, pusat-pusat kedokteran nuklir di Indonesia menitikberatkan pada diagnosis dan terapi kelainan kelenjar gondok (tiroid), termasuk di dalamnya kanker tiroid. Pengobatan menggunakan Yodium-131 telah puluhan tahun digunakan, namun masyarakat Indonesia belum banyak yang tertangani karena keterbatasan jumlah dan penyebaran pusat-pusat kedokteran nuklir.
Era pengobatan personal oleh kedokteran nuklir kini ikut ditunjang oleh tersedianya radionuklida logam Lutetium-177 dan farmaka pembawa zat radioaktif yang sesuai. Australia misalnya telah
menerapkan secara serius potensi teranostik Lutetium-177 untuk penanganan kanker prostat.
Ketua panitia pertemuan ilmiah yang juga dokter spesialis kedokteran nuklir, Ayu Rosemelia Dewi mengatakan, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) telah mampu memproduksi Lutetium-177 itu. "Pemanfaatan untuk klinisnya yang kami harapkan dapat tercapai dalam waktu dekat," ujarnya. Pertemuan ilmiah tahunan itu dimanfaatkan untuk menyebarkan perkembangan terbaru ke kalangan medis yang terkait.