TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Komisi VII Kurtubi menjelaskan bahwa DPR sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan Nuklir. Menurutnya, saat ini nuklir menjadi bagian dari energi baru terbarukan yang harus segera diatur.
Baca: Sejarah Lahirnya Kedokteran Nuklir, Bermula di Bandung
"Dalam terminologi Indonesia, saat ini nuklir bagian dari energi baru. Untuk itu DPR menyusun RUU Energi Baru Terbarukan. Sekarang masih penyusunan di tenaga ahli DPR, targetnya kalau bisa paling lambat 2019 sebab masa kerja kami di DPR sampai 2019," ujar Kurtubi, dalam acara Launching, Bedah Buku dan Diskusi Nasional BPPT di Auditorium BPPT, Jakarta Pusat, Selasa, 25 September 2018.
Energi nuklir merupakan penggunaan terkendali atas reaksi nuklir guna menghasilkan energi panas, yang digunakan untuk pembangkit listrik. Penggunaan nuklir untuk kepentingan manusia saat ini masih terbatas pada reaksi fisi nuklir dan peluruhan radioaktif.
Kurtubi, yang juga pengamat energi, mengatakan energi nuklir mempunyai ciri khas. Pertama, kata dia, nuklir adalah energi hebat, kemudian bersih dan aman, serta bisa digunakan selama 24 jam non-stop.
"Nuklir energi yang stabil 24 jam dapat menghasilkan strum, ini cocok untuk menunjang dan mendukung industrialisasi di tanah air. Semua industri dan semua pabrik beroperasi 24 jam, yang bisa mendukung operasi pabrik 24 jam adalah pembangkit listrik yang menghasilkan listrik 24 jam," kata politisi dari Partai Nasdem itu.
Energi nuklir menjadi salah satu potensi yang perlu digenjot, di mana proses pembangunannya akan memakan waktu puluhan tahun. Sebelumnya, Kurtubi melanjutkan, sudah ada di zaman Pak SBY dalam Perpres tentang kebijakan energi nasional, dan seharusnya tahun 2011 sudah ada yang dibangun.
"Pada saat itu Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga sudah survei dan studi lokasi. Tapi karena musibah di Fukushima kita maklum dan timbul ketakutan lalu dibekukan dan muncul Perpres kebijakan energi nasional yang diteken Pak SBY tiga hari sebelum beliau turun, isinya nuklir termasuk opsi terakhir, tidak dilarang tapi opsi terakhir," kata Kurtubi.
Kurtubi tidak menyingkirkan energi lain seperti energi surya, angin, geothermal dan air. Dia tetap mendukung, sebab energi tersebut merupakan energi bersih yang dibutuhkan generasi yang akan datang. "Untuk penerangan dan lain sebagainya, tapi untuk industri sebagai based load, nuklir jawabannya," lanjut Kurtubi.
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi menjelaskan bahwa implementasi energi nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) harus sesegera mungkin dimulai karena untuk menikmatinya butuh waktu yang panjang.
"Padahal kita kalau mulainya sekarang itu akan menikmatinya baru 30 tahun ke depan, jadi masih lanjang. Sebetulnya kita harus sesegera mungkin mengenalkan nuklir ini," tambah Eniya.
"Kalau dari segi perspektif yang berbeda, saya sangat setuju dengan implementasi secepat mungkin. Karena untuk model yang generasi keempat itu, menghasilkan by product gas hidrogen. Kalau kita sudah menghasilkan itu, menjadi solusi untuk energi baru yang ramah lingkungan untuk transportasi dan sebagainya," tambahnya.
Simak artikel lainnya tentang energi terbarukan nuklir di kanal Tekno Tempo.co.