TEMPO.CO, Bandung - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG meminta masyarakat menjadikan gempa yang terasa kuat sebagai peringatan dini tsunami, terutama bagi warga yang sedang atau tinggal di daerah pantai.
Baca: BMKG: Gempa 4,4 M Guncang Blitar
Baca: BMKG: Kalau Ada Gempa Kuat, Jangan Tunggu Peringatan Dini Tsunami
Menurut Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, gempa kuat yang dimaksud, berdasarkan skala intensitas gempa. Patokannya bukan skala besaran atau magnitudo, karena itu terkait juga dengan jarak kedalaman sumber gempa.
Dia mencontohkan gempa bermagnitudo skala 4, tapi dangkal dengan kedalaman 10 kilometer, bisa menjadi gempa kuat. Sebaliknya andai gempa bermagnitudo 8 namun di kedalaman 600 kilometer lebih, guncanganya tidak signifikan. "Gempa kuat itu minimal berskala intensitas V-VI MMI," katanya.
Berdasarkan keterangan BMKG, tanda gempa berskala intensitas V itu getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak yang terbangun ketika tidur, gerabah pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang besar tampak bergoyang, dan bandul lonceng dapat berhenti.
Adapun gempa berskala intensitas VI ditandai oleh getaran yang dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut dan lari keluar, plester dinding berjatuhan dan cerobong asap pada pabrik rusak, atau terjadi kerusakan ringan pada bangunan.
BMKG merupakan lembaga resmi yang bertugas mengeluarkan peringatan dini tsunami ke publik. Namun teknologinya yang menggunakan Indonesia Tsunami Early Warning System (INA TEWS) itu diakui Daryono tidak bekerja efektif untuk pantai-pantai rawan yang dekat dengan sumber gempa. "Karena golden time-nya itu sangat singkat," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Gempa Donggala bermagnitudo 7,4 yang disertai tsunami pada Jumat sore, 28 September 2018, mengakibatkan korban jiwa dan luka. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban tewas hingga Ahad, 30 September 2018 sebanyak 832 orang.