TEMPO.CO, Sharm el Sheikh - Ratusan negara yang terlibat dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity di Sharm El Sheikh, Mesir, 13-29 November 2018 berdebat keras ihwal pencurian sumber daya genetik (biopiracy). Forum multilateral ini membahas biopiracy yang merugikan negara-negara berkembang. Biopiracy terjadi ketika para peneliti atau organisasi penelitian mengambil sumber daya biologis tanpa izin dan sanksi.
Baca juga: WWF: Begini Kondisi Terbaru Keanekaragaman Hayati Dunia
Biopiracy misalnya bicara pemanfaatan obat-obatan dari sumber daya alam genetik, pertanian, dan laut. “Pembahasan pemanfaatan sumber daya genetik alot. Ini bicara pembagian keuntungan,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Enny Sudarmonowati kepada Tempo, Rabu, 21 November 2018.
Tempo berkesempatan meliput Konvensi Keanekaragaman Hayati di Mesir atas dukungan Climate Tracker, jaringan global yang beranggotakan 10 ribu jurnalis muda peliput iklim.
Baca juga: Konvensi Keanekaragaman Hayati Bahas Mikroplastik Laut Indonesia
Di konferensi tersebut, selain mengirim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia membawa delegasi dari Kementerian Lingkungan Hidup daan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Luar Negeri.
Biopiracy menyangkut pemanfaatan mikroorganisme sumber daya genetik yang kasat mata. Enny mencontohkan orang bisa saja membawa mikroorganisme asal Indonesia melalui koper, sepatu ke negara lain. Lalu mikroorganisme itu dimanfaatkan untuk obat antibiotik.
Indonesia, kata dia kerap kecolongan mikroorganisme penting ketika peneliti mendapat tawaran riset internasional dan mempublikasikannya di jurnal penelitian internasional. Peneliti misalnya mengirim daun yang memiliki mikroorganisme penting untuk antibiotik. Mikroorganisme itu kemudian diproduksi negara lain dan menghasilkan keuntungan yang besar.
Baca juga: Tiga Poin Penting Konvensi Keanekaragaman Hayati Mesir
Contoh lainnya adalah pengembangan kunyit di negara lain. Orang nggak perlu datang ke negara penghasil kunyit karena mereka sudah tahu struktur molekuler.
Asisten Deputi Sumber Daya Hayati Kemenko Maritim, Andri Wahono, mengatakan negara-negara maju pengguna sumber daya genetik seharusnya memberikan pembagian keuntungan yang adil untuk negara-negara berkembang penyedia sumber daya genetik. Protokol Kyoto menjadi instrumen dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengatur tentang pembagian keuntungan sumber daya genetik.
Negara-negara maju pengguna sumber daya genetik, kata Andri seharusnya membagi keuntungan misalnya dengan cara alih teknologi maupun peningkatan kapasitas. ”Sayangnya tak ada sanksi yang mengikat sehingga negara-negara yang kaya sumber daya genetik tak dapat keadilan,” kata dia.
Padahal, sumber daya genetik rawan dicuri. Di lautan lepas, misalnya orang sangat mudah mengambil sampling air, kotoran ikan, sisik ikan, untuk mendapatkan genetik mikroba. Dalam sesi khusus pembahasan soal laut (marine), Indonesia mengusulkan pentinganya posisi Indonesia sebagai negara kepulauan. “Ini menyangkut kedaulatan supaya laut Indonesia tidak gampang diserobot negara lain,” kata Kepala Subdit Konvensi dan Jejaring Konservasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Firdaus Agung.
Baca juga: Kekayaan Hayati dalam Ilustrasi Botani
Simak artikel menarik lainnya seputar keanekaragaman hayati hanya di kanal Tekno Tempo.co.