TEMPO.CO, Sharm el Sheik - Direktur Eksekutif Institut Dayakologi, Krissusandi Gunui, geram dengan industri ekstraktif sawit yang menghancurkan keanekaragaman hayati hutan Kalimantan Barat. "Industri sawit merusak kehidupan suku dayak. Jangan ada lagi ekspansi sawit untuk alasan apapun," kata Krissusandi, Ahad, 25 November 2018.
Baca juga: Akal-akalan Izin Sawit
Krissusandi merupakan keturunan dayak rumpun Ibanik yang datang bersama pegiat Indigenous People and Local Communities dari banyak negara di Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sharm el-Sheikh, Mesir sejak tanggal 13-29 November 2018. Selain Indonesia, beberapa di antaranya datang dari Malaysia, Filipina, negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Afrika.
Ia datang bersama komunitas masyarakat adat dari banyak negara untuk bersuara ihwal eksploitasi perusahaan sawit. Tempo berkesempatan meliput acara itu atas dukungan Climate Tracker, jaringan global yang beranggotakan 10 ribu jurnalis muda peliput iklim.
Baca juga: Di Palembang, Jokowi Soroti Masalah Harga Sawit dan Karet
Perkebunan sawit yang monokultur (budidaya lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu area), kata Krissusandi, telah menghancurkan keanekaragaman hutan Kalimantan Barat. Industri sawit membunuh pohon belian, tanaman penghasil kayu khas hutan Kalimantan atau disebut kayu besi. Suku Dayak Iban menggunakan kayu jenis ini untuk membangun tiang-tiang utama rumah panjang.
Sawit juga menggusur pohon tengkawang khas Kalimantan yang menghasilkan minyak nabati dan banyak dipakai sebagai bahan baku mentega. Pemerintah telah menetapkan pohon tengkawang sebagai flora identitas Kalimantan Barat. "Sayangnya tanaman ini tak mendapat perhatian dari pemerintah. Pemasaran tidak disiapkan dan harga tengkawang kerap jatuh," kata dia.
Pohon enau, nibung, durian juga semakin berkurang karena ekspansi sawit. Selain menghilangkan biodiversitas hutan Kalimantan, perkebunan sawit juga berdampak pada perilaku hidup, sosial, dan kesehatan penduduk Kalimantan. Suku Dayak memiliki konsep pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan.
Baca juga: Korupsi Politik Perizinan Sawit