TEMPO.CO, Sharm El Sheikh - Negosiasi tentang pembagian manfaat atas penggunaan sumber daya genetik negara-negara peserta Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity di Sharm El Sheikh, Mesir berlangsung alot dan panas.
Baca: Biopiracy Jadi Isu Panas di Konvensi Keanekaragaman Hayati
Sebanyak 196 negara peserta konvensi terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu negara-negara yang kaya akan keanekaragaman hayati melawan kubu negara yang punya teknologi canggih. Negara kaya biodiversitas menuding negara yang punya teknologi canggih meanfaatkan sumber daya genetik, misalnya untuk tujuan komersial. Tapi, mereka tak mau membagi manfaat atas penggunaan sumber daya genetik.
Negara kaya keanekaragaman hayati itu tergabung dalam Like-Minded Megadiverse Countries (LMMC). Mereka di antaranya Brasil, Cina, Kolombia, India, Indonesia, Filipina, Malaysia, Meksiko, Afrika Selatan. Sedangkan, negara pengguna sumber daya genetik yang memiliki teknologi canggih di antaranya Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara anggota Uni Eropa.
Tempo berkesempatan mengikuti proses negosiasi selama konferensi berlangsung atas dukungan Climate Tracker, jaringan global yang beranggotakan 10 ribu jurnalis muda peliput iklim.
Pada sesi contact group yang membahas Digital Sequence Information di ruangan El Wadi, Selasa malam, 27 November 2018, dua kubu yang bertentangan itu masih memperdebatkan pasal-pasal menyangkut pembagian manfaat. “Kami mendengarkan semua negara yang terlibat. Perlu informasi dan fakta yang nyata dan jelas,” kata seorang perwakilan dari Uni Eropa.
Digital Sequence Information (DSI) merupakan semua informasi hasil pengembangan bioteknologi. DSI bicara pemanfaatan makhluk hidup, misalnya mikroba, virus, tanaman, binatang.
Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Gono Semiadi mengatakan perdebatan ihwal DSI menyangkut politik praktis tentang perhitungan pembagian manfaat. Tapi, negara-negara pengguna sumber daya genetik hingga sekarang belum sepakat. “Pembahasan dokumen alot paragraf per peagraf,” kata Gono.
Menurut dia, paragraf-paragraf itu bicara bagaimana konsekuensi yang harus saling menguntungkan atas pemanfaatan sumber daya genetik. Dia memperkirakan akan sulit terjadi kesepakatan antara dua kubu tersebut. Kemungkinan akan ada ganjalan pada sejumlah kalimat di pasal-pasal yang dibahas.
Bila tidak terjadi kesepakatan maka akan masuk ke Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTA) di Konvensi Keanekaragaman Hayati yang berikutnya. SBSTA merupakan badan penasihat ilmiah intergovernmental untuk konferensi para pihak atau Conference on the Parties.
Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian Kementerian Pertanian, Made Tasman, mengatakan materi genetik digunakan secara langsung maupun melalui ekstrak. Teknologi yang canggih membuka akses informasi seluas-luasnya. Materi genetik itu tinggal diurutkan melalui unsur kimianya. Lalu diproduksi bebas secara komersial untuk pengobatan dan bioteknologi.
Negara-negara yang menguasai teknologi bioinformatika sayangnya menolak untuk memberikan akses dan pembagian keuntungan secara adil. “Kami menginginkan ada win-win solution,” kata Made.
Pemanfaatan sumber daya genetik misalnya mengambil tanaman obat, rempah-rempah di hutan Indonesia. Lalu demi tujuan komersial, negara-negara pengguna justru malah menjual tanaman obat-obatan itu ke negara penyedia sumber daya genetik.
Negara-negara penyedia sumber daya genetik memerlukan pembagian manfaat yang adil dan setara sesuai dalam prinsip Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pembagian manfaat itu, kata dia bukan berarti hanya dalam bentuk uang, melainkan peningkatan kapasitas.
SHINTA MAHARANI (Sharm El Sheikh)