7. Hellen Kurniati (peneliti buaya)
Maria Margaretha Suliyanti, Hellen Kurniati (dua paling kiri) dan Mutia Dewi Yuniati (paling kanan) dalam acara diskusi Wanita Tangguh dalam IPTEK Bangsa di Media Center LIPI, Jakarta Selatan, Jum'at, 20 April 2018. (TEMPO/Khory)
Hellen Kurniati merupakan wanita satu-satunya yang bekerja untuk meneliti buaya. Dia adalah peneliti Herpetologist dari Pusat Penelitian Biologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak menjadi mahasiswa, Hellen sudah biasa pergi-pergi jauh. Akhirnya keluarga pun tidak terlalu mempermasalahkan apa yang dia lakukan sekarang. Keluarga, kata dia, setuju dengan apa yang dia lakukan.
"Ibu saya tak pernah cemas tentang pekerjaan saya di LIPI dengan meneliti buaya," kata wanita 56 tahun itu, April 2018. "Kalau keluarga tidak ada yang melarang, karena saya belum berkeluarga, jadi santai saja." Anak kedua dari tiga bersaudara ini bergabung dengan LIPI sejak 1988. Fokus bidang yang ditekuninya berkaitan dengan buaya dan suara kodok. Dia mempelajari tentang pola perilaku buaya dan kodok secara detil untuk kepentingan konservasi.
Karir peneliti perempuan, kata Hellen, tidak ada perbedaan, yang menentukan adalah kompetensi dan bukan gender. Peneliti, menurut Hellen hanya dituntut untuk melalukan publikasi penelitiannya. Menjadi seorang peneliti bukan cita-cita Hellen sejak kecil. "Cita-cita saya sejak kecil ingin jadi dokter hewan. Saya dari kecil memang sayang binatang," kata dia.
Selama di lapangan berbagai medan sudah dilalui, hal buruk pun tidak dapat dihindari. Hellen menceritakan pengalamannya selama melakukan penelitian. "Saya pernah digigit buaya, tapi buaya yang baru menetas. Ternyata sifat buas buaya sudah muncul sejak baru menetas. Waktu itu saya membantu membuka cangkangnya," ujar wanita kelahiran Jakarta itu.
8. Septelia Inawati Wanandi (ilmuwan biokimia dan biologi molekuler)
Ilmuwan biokimia dan biologi molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Septelia Inawati Wanandi, meraih penghargaan sebagai Dosen Berprestasi Terbaik bidang Sains dan Teknologi 2018. (Universitas Indonesia)
Ilmuwan biokimia dan biologi molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Septelia Inawati Wanandi, meraih penghargaan sebagai Dosen Berprestasi Terbaik bidang Sains dan Teknologi 2018. Penganugerahan diberikan langsung oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, dalam acara Anugerah Diktendik Berprestasi 2018 dilaksanakan pada Oktober 2018 di Jakarta.
Dalam ajang penganugerahan Dosen Berprestasi tersebut, Septelia mempresentasikan rangkuman hasil penelitian yang berjudul "Menyibak Tabir Sel Punca Kanker sebagai Target Deteksi dan Terapi Kanker Payudara". Berdasarkan risetnya bersama tim tersebut, Septelia memberikan rekomendasi agar tata laksana terapi sel punca yang sedang marak akhir-akhir ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat sel punca dan sekretomnya dapat memicu peningkatan kepuncaan dan keganasan sel punca kanker payudara.
Penghargaan ini digagas oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI sebagai bentuk apresiasi kepada dosen dan tenaga kependidikan yang telah berdedikasi melaksanakan Tri Darma pendidikan tinggi. Septelia merupakan dosen aktif di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI.
Septelia menuturkan bahwa penyakit kanker merupakan masalah kesehatan utama di berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang. Tingginya kasus kanker payudara mendorong perlunya penelitian untuk mencari solusi tentang deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat untuk menekan munculnya kasus baru, mengobati dan mempertahankan kualitas hidup bagi penderita.
"Walaupun terapi kanker payudara telah berkembang pesat, namun angka resistensi terapi dan kekambuhan penyakit masih cukup tinggi," ujar Septelia, pada November 2018. Menurutnya, saat grup penelitian Cancer Stem Cells (CSC) di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI mulai dibentuk (2010), pemahaman mengenai keberadaan dan peran sel punca kanker masih sangat terbatas terutama di Indonesia.
Menurut Septelia, perlu strategi deteksi dini dan terapi yang ditargetkan pada CSC dan lingkungan mikro tumor. Penelitian ini berhasil menyibak tabir CSC sebagai target deteksi dan terapi kanker payudara. "Saat ini, grup penelitian dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI juga tengah mendalami keberadaan dan peran CSC pada kanker lainnya yaitu glioblastoma, kanker kolorektal dan kanker ovarium," ujarnya.
9. Agustina Monalisa (peneliti ubi cilembu)
Agustina Monalisa. itb.ac.id
Ubi yang terkenal manisnya dari Desa Cilembu, Sumedang, Jawa Barat, menjadi daya pikat untuk penelitian mahasiswa doktoral ITB (Institut Teknologi Bandung). Seorang mahasiswi ITB, Agustina Monalisa, meneliti ubi Cilembu itu hingga meraih gelar doktor di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB.
Risetnya tentang mikroba yang membuat ubi cilembu punya kekhasan rasa manis. "Berdasarkan observasi dan fenomena yang ada, ubi Cilembu jika ditanam di tempat yang berbeda di luar Desa Cilembu, hasil kualitasnya berbeda khususnya dalam kualitas rasa manis," kata dia, pada Oktober 2018. Ubi jalar ini konon hanya tumbuh dengan baik jika ditanam di perkebunan Desa Cilembu, Sumedang, Jawa Barat. Karena keunikannya itu Agustina Monalisa Tangapo kepincut menelitinya.
Hasil risetnya menjadi disertasi berjudul "Dinamika Populasi Bakteri Rhizosfer dan Endofit Pada Budidaya Ubi Jalar Cilembu (Ipomoea batatas var. Cilembu) dan Peranannya Selama Proses Penyimpanan Pascapanen". Mengutip dari laman ITB, Agustina berhasil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktoral Biologi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB.
Dia meneliti dari aspek mikrobiologi, yaitu mikroba khususnya bakteri rizosfer dan endofit yang mengasumsikan spesifik dengan lokasi dimana Ubi Cilembu itu berasal. Berdasarkan penelitiannya, ubi yang ditanam di luar lokasi Desa Cilembu kelimpahan dan keanekaragaman bakterinya berbeda. Bakteri itu salah satu yang bisa berpengaruh terhadap rasa manis. Selain itu faktor tanah juga ikut mempengaruhi.
10. Daniel Murdiyarso (pakar lingkungan)
Prof. Daniel Murdiyarso. Kredit: CIFOR
Pakar bidang perubahan iklim dan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Daniel Murdiyarso, menerima anugerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), LIPI Sarwono Award XVII. "Pemberian anugerah ini mempertimbangkan jasa Daniel Murdiyarso dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dengan kepakaran perubahan iklim dan lingkungan hidup," ujar Wakil Kepala LIPI Bambang Subiyanto, Agustus 2018 lalu.
Penganugerahan LIPI Sarwono Award merupakan penghargaan kepada perorangan yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Penghargaan ini diberikan bagi para ilmuwan yang mendedikasikan diri dan mengabdikan hidupnya untuk kemajuan sains.
Menurut Kepala LIPI Laksana Tri Handoko, Daniel Murdiyarso adalah ilmuwan Indonesia yang merupakan Guru Besar Ilmu Atmosfir Fakultas MIPA IPB. Daniel Murdiyarso sebagai penerima LIPI Sarwono Award XVII adalah pakar iklim kehutanan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta juga merupakan salah satu peneliti yang berkontribusi terhadap Nobel Perdamaian 2007 untuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Ia juga merupakan penerima Ahmad Bakrie Award di bidang Sains pada 2010 dan salah satu peneliti senior di Center for Internation Forestry Research (CIFOR). Pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, ini aktif juga dalam penelitian perubahan tata guna lahan, siklus biogeokimia, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sejak 2002, pria berkacamata ini juga aktif sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Baca juga: Pakar Lingkungan Daniel Murdiyarso Raih LIPI Sarwono Award
Simak artikel menarik lainnya seputar Kaleidoskop 2018 hanya di Tempo.co.