TEMPO.CO, Bandung - Kepala Sub-Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG, Kristianto, mengatakan, tsunami Selat Sunda bisa dipicu berbagai faktor. Sedikitnya ada dua kemungkinan, pertama akibat energi letusan Gunung Anak Krakatau yang relatif besar. Kedua, karena material tubuh gunung api yang longsor ke dalam laut.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda, BMKG Sarankan Warga Tak Dekati Pantai
Kendati sering erupsi, tapi menurut Kris, Gunung Anak Krakatau belum pernah terpantau memicu terjadinya gelombang tinggi atau tsunami. Ditambah, dia menjelaskan, serangkaian energi erupsi Gurung Anak Krakatau, Sabtu, 22 Desember 2018, tidak sebesar letusan sebelumnya.
"Sebetulnya jumlah letusan yang paling tinggi itu di bulan November dan itu pun tidak ada informasi terkait gelombang, atau efek yang lain. Yang kita lihat memang material yang dikeluarkan masih sebatas di dalam radius 2 kilometer tersebut, berupa aliran lava dan lontaran material pijar," kata Kris, saat ditemui di kantornya, Ahad, 23 Desember 2018.
Kris mengatakan, lelehan lava pijar yang mengalir ke laut mengarah ke Selatan-Tenggara dari pusat letusan Gunung Anak Krakatau juga selama ini hanya terjadi perlahan. "Dan alirannya pelan," kata dia.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda, Gubernur Banten: Lima Pantai Terdampak
Spekulasi yang tersisa tinggal kemungkinan dipicu oleh longsoran tubuh Gunung Anak Karakatu. Tim PVMBG akan mengecek ke lapangan dengan data pembanding dari citra satelit tubuh gunung itu.
"Longsoran itu harus berupa material dalam jumlah besar yang masuk ke air secara mendadak. Bisa dari tubuh gunung api atau di bawahnya," kata dia.
Erupsi yang terjadi pada Sabtu, 22 Desember 2018, pukul 21.03 WIB, merusak peratalan seismik yang dipasang di Pulau Gunung Anak Krakatau. Pemantauan seismik gunung Anak Krakatau akhirnya saat ini mengandalkan peralatan yang ada di pulau terdekat yakni Pulau Sertung.
Data pemantauan seismik gunung api itu, menurut Kris, tidak ada yang ganjil. “Kita tanyakan pengamat di sana, tidak ada hal yang signifikan di jam tersebut," kata dia. Kendati demikian, Kris mengakui peralatan pemantau mencatat aktivitas seismik dalam skala over-scale. "Kalau sedang over-scale, ktia memantau jumlah gempa letusan memang agak susah."
Baca juga: Tidak Ada Gempa Tektonik, Apa Penyebab Tsunami Anyer?
Simak kabar terbaru seputar tsunami Selat Sunda hanya di kanal Tekno Tempo.co.