TEMPO.CO, Bandung - Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulknanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Hendra Gunawan, mengatakan awan panas luncuran guguran yang terjadi di puncak Gunung Merapi Yogyakarta pada 29 Januari karena posisi kubah lava berada di lereng puncak.
Baca: Gunung Merapi Mulai Luncurkan Awan Panas Guguran
“Kubah di puncak terus tumbuh. Walaupun perlahan, tapi posisinya dekat dengan lereng puncak sehingga mudah longsor dan menjadi awan panas guguran,” kata dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 31 Januari 2019.
Hendra mengatakan, awan panas guguran menjadi bahaya utama yang khas di Gunung Merapi. Bahaya khas ini sempat tergantikan dengan terjadinya letusan eksplosif gunung tersebut pada tahun 2010.
Fasenya khas, dimulai dengan pertumbuhan kubah lava disusul dengan terjadi guguran awan panas. “Sekarang Merapi sudah kembali ke sebelum tahun 2010. Aktivitasnya ditandai dengan pertumbuhan kubah lava,” kata dia.
Hendra mengatakan, saat ini pertumbuhan kubah lava cenderung lambat. Volumenya pun belum besar.
Balai Penyelidikan Dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Merapi mencatat volume kubah lava saat ini menembus 461 ribu meter kubik. Laju pertumbuhannya 1.300 meter kubik per detik. “Hanya lokasinya yang berbahaya, lokasinya di dekat lereng puncak. Walaupun kecil, kalau menggelundung jatuh, jadi awan panas. Itu bahaya utama yang harus dicermati,” kata dia.
Dia membandingkan dengan laju pertumbuhan kubah lava Gunung Sinabung yang sama-sama menghasilkan awan panas guguran dalam lima tahun terakhir ini. “Gunung Sinabung tahun 2015 itu kecepatan pertumbuhan kubah lavanya 2 meter kubik per detik. Dalam satu bulan sudah mencapai 1-2 juta meter kubik. Kubah lava Merapi pertumbuhanya kurang dari 1 meter kubik per detik,” ujarnya.
Hendra mengatakan, luncuran guguran awan panas kubah lava Gunung Merapi itu berada di sektoral mengarah ke Kali Gendol. “Jarak luncuran maksimalnya 1.400 meter. Memang ke depan yang harus diwaspadai itu pertumbuhan kubah lava dan arahnya,” kata dia.
Hendra mengatakan, ancaman guguran awan panas Gunung Merapi diperkirakan masih dalam daerah batas bahaya yang direkomendasikan Badan Geologi lewat PVMBG, yaitu masih berada dalam radius 3 kilometer. “Dalam radius 3 kilometer ini tidak boleh ada aktivitas manusia,” kata dia.
Namun dia mengingatkan, daerah radius bahaya ini akan dievaluasi bersamaan dengan terus tumbuhnya kubah lava Gunung Merapi. “Tentu ini akan berubah dengan waktu se-iring dengan pertambahan volume kubah lava, walaupun lambat,” kata Hendra.
Dari pengamatan sampai saat ini, pertumbuhan kubah lava Gunung Merapi masih terhitung lambat. “Hanya masalahnya, bukan pada volumenya, tapi awan panasnya bisa sewaktu-waktu meluncur. Jadi memang harus diwaspadai masyarakat sesuai arah,” kata dia.
Sebelumnya, Kepala BPPTKG Gunung Merapi, PVMBG, Badan Geologi, Hanik Humaida mengatakan, guguran awan panas kembali terjadi di Gunung Merapi tanggal 29 Januari 2019. “Kejadian tersebut merupakan awan panas guguran,” kata dia, Rabu, 30 Januari 2019.