TEMPO.CO, Bandung - Dua gempa tektonik di selatan Jawa pada Kamis, 14 Februari 2019, punya kaitan dengan riwayat gempa besar pada masa lalu. Gempa itu mengguncang Banten dan Malang selatan.
Baca: BPBD Lebak: Gempa Magnitudo 5,2 Tidak Menimbulkan Kerusakan
Baca: Gempa Bermagnitudo 5,0 Guncang Pandeglang, Tak Berpotensi Tsunami
Baca: BMKG: Gempa Malang Tak Berpotensi Tsunami
"Kedua gempa tersebut ternyata pusatnya berdekatan dengan lokasi gempa kuat dan merusak pada masa lalu," kata Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Kamis, 14 Februari 2019.
Gempa selatan Malang pada Kamis pagi pusatnya berdekatan dengan gempa kuat Jawa Timur pada 1958. Meskipun tidak diketahui pasti kekuatan gempanya, intensitasnya tercatat mencapai skala VII-VIII MMI.
Skala itu menunjukkan kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Sedangkan pada bangunan yang konstruksinya kurang baik terjadi retak-retak bahkan hancur, cerobong asap pecah hingga dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, serta air menjadi keruh.
Akibat gempa 1958 itu kata Daryono tercatat banyak rumah rusak, juga banyak ditemukan tanah terbelah (ground failure). "Dilaporkan sebanyak delapan orang meninggal dunia," ujarnya, Kamis, 14 Februari 2019.
Sedangkan gempa di Samudra Hindia di Selatan Banten pada Kamis pagi juga berdekatan dengan gempa kuat bermagnitude 7,9 yang merusak di wilayah Banten dan Jawa Barat pada 27 Februari 1903.
Kedua gempa tersebut, kata Daryono, terjadi di zona yang relatif “sepi gempa”. Pusatnya cukup jauh dari episenter gempa kuat M=7,8 yang memicu tsunami di Banyuwangi pada 3 Juni 1994, dan gempa kuat M=7,7 yang memicu tsunami di Pangandaran pada 17 Juli 2006.
"Dengan memperhatikan adanya peningkatan aktivitas seismik di Samudra Hindia selatan Jawa akhir-akhir ini kita patut waspada, tetapi tidak perlu takut dan panik," ujar Daryono.
Dia meminta masyarakat terus menyiapkan diri dalam meningkatkan kapasitas upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami. Bangunan rumah harus dirancang kuat untuk menahan guncangan gempa.
Masyarakat juga harus mengerti bagaimana cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami, khususnya evakuasi mandiri dengan cara menjadikan gempa kuat yang dirasakan di pantai sebagai peringatan dini tsunami.
Sebelumnya diberitakan gempa Kamis, 14 Februari 2019, pukul 02.58.45 WIB muncul di wilayah sebelah selatan Kabupaten Malang, Lumajang, dan Blitar Jawa Timur dengan kekuatan bermagnitudo 5,0.
Episenter terletak pada koordinat 9,35 LS dan 112,51 BT, tepatnya di laut pada jarak 134 km arah selatan Kota Kepanjen, Malang, dengan kedalaman 69 km.
Gempa ini merupakan gempa kedalaman menengah akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Gempa ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme kombinasi mendatar dan naik (oblique thrust).
Guncangan gempa dirasakan dengan skala intensitas III MMI di Selopuro, Wlingi, dan Kota Blitar. Hingga saat ini belum ada laporan kerusakan akibat gempa tersebut.
Tiga jam kemudian tepatnya pada pukul 06.41.53 WIB, wilayah Banten Selatan juga diguncang gempa dengan magnitudo M=5,0. Episenter terletak pada koordinat 7,07 LS dan 105,64 BT, tepatnya di laut pada jarak 84 km arah selatan Kota Pandeglang, pada kedalaman 56 km.
Hiposenter gempa ini diduga kuat terletak di bawah bidang kontak antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, sehingga gempa ini merupakan jenis gempa dangkal akibat penyesaran di dalam Lempeng Samudra.
Gempa semacam ini dikenal sebagai “Intraslab earthquake”. Analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme kombinasi mendatar dan turun (oblique normal).
Dampak gempa ini dilaporkan menyebabkan guncangan cukup kuat di Labuan, Ujung Kulon, Malingping, Cijaku, Panggarangan, Bayah, Ciptagelar dan Wanasalam dalam skala intensitas III MMI, sementara di Pelabuhan Ratu dirasakan II MMI. Hingga saat ini tidak ada laporan kerusakan akibat gempa ini.
Hasil pemodelan kedua gempa di atas menunjukkan tidak berpotensi tsunami karena magnitudonya yang relatif kecil sehingga tidak cukup kuat untuk menciptakan deformasi dasar laut hingga mengganggu kolom air laut.