TEMPO.CO, Yogyakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menyebut capres maupun calon anggota legislatif jarang mengangkat kerusakan lingkungan dan dampaknya pada kampanye Pemilihan Umum 2019.
Baca juga: Walhi Sebut Program Agraria Jokowi - Prabowo Bermasalah
Organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu lingkungan ini mencatat agenda lingkungan belum menjadi arus utama capres-cawapres maupun caleg. “Para elit yang bertarung itu jarang mengangkat masalah masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati di Kantor Walhi Yogyakarta, Selasa, 26 Februari 2019.
Masalah yang dihadapi masyarakat itu di antaranya konflik agraria, kriminalisasi terhadap aktivis atau pegiat lingkungan. Dia mencontohkan kriminalisasi terhadap tiga buruh tani Indramayu, Jawa Barat karena memprotes proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Para aktivis itu ditangkap dan dipenjara dengan alasan yang tidak masuk akal, yakni hanya karena tuduhan memasang bendera terbalik.
Walhi menangani setidaknya 182 kasus lingkungan dari Aceh hingga Papua. Selain kriminalisasi, kasus yang mencuat adalah penggusuran. Di Nusa Tenggara Timur, seorang penduduk tertembak karena menolak proyek pariwisata. Persoalan kian bertambah dengan izin konsesi lahan, pembangunan infrastruktur yang menurunkan kualitas ekologi. “Negara melegalkan perusakan lingkungan,” kata dia.
Walhi juga mencatat krisis ekologi dan meningkatnya bencana lingkungan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan terdapat sembilan juta penduduk terkena dampak bencana lingkungan. Bencana itu dipicu cuaca ekstrem karena dampak dari perubahan iklim, banjir, dan longsor. Menurunnya daya dukung ekosistem
Isu-isu lingkungan yang jauh dari pembahasan dalam pemilu membuat Walhi menyiapkan pertemuan rakyat pada 23 Maret 2019 di Jakarta. Organisasi tersebut akan melibatkan berbagai komunitas dari seluruh Indonesia yang terkena dampak kerusakan lingkungan karena proyek-proyek negara. Mereka menargetkan 4 hingga 5 ribu peserta dan fokus pada wilayah Jawa dan Sumatera bagian selatan.
Peserta yang diundang merupakan komunitas yang mengalami dampak langsung dari kebijakan negara yang mengabaikan kelangsungan lingkungan. Komunitas itu di antaranya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng yang menolak pendirian pabrik semen, Serikat Petani Pasundan yang terdampak karena konflik agraria.
Selain itu, pertemuan akbar tersebut juga akan mengundang para caleg dan partai politik. Mereka punya peran yang mempengaruhi kebijakan politik lingkungan.
Walhi nasional telah keliling bertemu dengan sejumlah komunitas di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta untuk membicarakan rapat akbar tersebut. Di Yogyakarta misalnya Walhi bertemu dengan puluhan warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah yang menolak pengerukan bukit untuk proyek bendungan. “Pengerukan batu mengancam bukit yang jadi tumpuan untuk bertani,” kata seorang warga Desa Wadas, Sutrisno.
Walhi Yogyakarta mengadvokasi warga Desa Wadas. Selain dari Walhi, mereka juga mendapat dukungan dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Selain warga Wadas, Walhi juga mengadvokasi masifnya proyek pariwisata yang mengancam keberadaan karst lindung Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Warga Kulon Progo yang terdampak pembangunan bandara baru juga mendapat advokasi Walhi dan LBH.
Berita tentang capres dan lingkungan lainnya bisa Anda simak di Tempo.co.