TEMPO.CO, Bandung - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengoreksi ketinggian Gunung Anak Krakatau. “Tingginya sekarang 156,9 meter di atas permukaan laut,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG, Hendra Gunawan saat dihubungi Tempo, Senin, 11 Maret 2019.
Baca: PVMBG Larang Dekati Kawasan Gunung Anak Krakatau, Ini Sebabnya
Baca: PVMBG: Gunung Anak Krakatau Mengalami Kegempaan Tremor Menerus
Baca: Letusan Strombolian Gunung Anak Krakatau Kembali Muncul
Hendra mengatakan, perhitungan terbaru itu lebih akurat setelah tim PVMBG mendatangi Pulau Gunung Anak Krakatau untuk melakukan pengukuran manual ketinggian gunung tersebut pekan lalu. “Sekarang yang terbaru menggunakan levelling, alat untuk mengukur seperti di jalan, pakai alat itu,” kata dia.
Menurut Hendra, ketinggian Gunung Anak Krakatau tersebut hilang akibat rangkaian letusan gunung tersebut pada akhir 2018 lalu. “Bagian tengah tubuh Gunung Anak Krakatau itu seperti ada dua tubuh. Yang paling tingginya itu hilang, tinggal tubuh pertama yang kelihatan agak terpisah,” kata dia.
Hendra mengatakan, diameter gunung tersebut juga berkurang. Volume tubuh gunung tersebut mengecil, tapi dia tidak ingat persis. “Ada hitungannya,” kata dia.
PVMBG terakhir melakukan pengukuran ketinggian Gunung Anak Krakatau pada September 2018, sebelum gunung tersebut meletus yang menyebabkan sebagian tubuh gunung tersebut hilang.
Pada September 2018, PVMBG mengukur ketinggian gunung itu 338 meter di atas permukaan laut. Pengukuran tersebut mengoreksi ketinggian gunung api yang masih terus tumbuh itu yang sebelumnya tercatat 305 meter.
Pengukuran ketinggian Gunung Anak Krakatau tersebut dilakukan bersamaan dengan pemasangan alat Tilt Meter untuk mengukur deformasi tubuh gunung tersebut. “Kita tambah alat deformasi, itu di puncak Gunung Anak Krakatau yang sekarang,” kata Hendra.
Hendra mengatakan, peralatan pengukur deformasi tersebut untuk merekam pergerakan tubuh gunung. “Kita ingin merekam semua pergerakan di tubuh gunung. Jadi pergerakan apa, getaran apa, kita bisa rekam semua,” kata dia.
Sebulan sebelumnya, PVMBG juga mengirim tim untuk memasang seismometer, alat untuk mengukur aktivitas kegempaan, di Gunung Anak Krakatau. Alat tersebut untuk mengganti alat sama yang hancur saat erupsi gunung tersebut. “Alat yang lama sudah hancur karena letusan Anak Krakatau. Sekarang sudah dipasang alat seismik,” kata dia.
Alat seismometer dan alat pengukur deformasi tersebut merupakan standar peralatan yang dipasang PVMBG untuk memantau aktivitas gunung api. “Itu standar dari kantor Pusat Vulkanologi, ada alat seismik dan alat deformasi, idealnya. Tapi kadang-kadang alat tersebut rusak, atau dicuri,” kata dia.
Dalam waktu dekat tim akan dikirim lagi untuk memasang satu alat lagi. “Rencananya kita akan lengkapi dengan alat GPS. Tapi ini dalam proses pelelangan, pembelian. Dengan alat ini kita harapkan bisa menghitung kedalaman sumber dari pusat aktivitas gunung,” kata dia.
Idealnya, ada empat peralatan seismometer yang dipasang untuk memantau aktivitas di tubuh gunung api. “Kita baru (memasang) dua. Mudah-mudahan dengan GPS ini, dengan pemasangan tiga alat, kita bisa melakukan deteksi lebih akurat,” kata Hendra.
Dari pengamatan sementara aktivitas Gunung Anak Krakatau relatif cenderung menurun. “Sekarang relatif tidak ada peningkatan (aktivitas) lagi, menurun. Ini sedang kita evaluasi. Sambil pasang alat, kita evaluasi juga,” kata dia.
Sementara untuk evaluasi status aktivitas Gunung Anak Krakatau belum diputuskan. PVMBG masih menetapkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau pada Level III atau Siaga yang ditetapkan sejak 27 Desember 2018 lalu. PVMBG melarang aktivitas warga dalam radius 5 kilometer dari kawah gunung tersebut.
Dikutip dari laporan harian Kebencanaan Geologi lembaga tersebut, pantauan visual gunung tersebut tidak teramati asap dari kawah gunung itu. Gunung Anak Krakatau tercatat erupsi terakhir terjadi pada 23 Februari 2019 menghasilkan ketinggian kolom abu 500 meter.