TEMPO.CO, Jakarta- Seorang guru di Kenya bernama Vincent Omondi dengan mudah membuat platform e-Voting. Omondi hanya membutuhkam waktu dua pekan untuk mengembangkan pengkodean yang terlihat cukup jenius, demikian dilaporkan laman standardmedia, Selasa, 16 April 2019.
Temuan ini kontradiktif dengan Pemilu di Indonesia. Hari ini, Rabu, 17 April 2019, kita melangsungkan pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden serta calon legislatif.
Pemilu di Indonesia masih menggunakan sistem manual, dengan cara mencoblos gambar calon yang ingin dipilih. Indonesia juga sempat diisukan akan mengubah proses demokrasi tersebut dengan cara e-voting, meskipun tidak tahu kapan diterapkan.
Awalnya, Omondi bercerita, dia datang dengan sistem untuk digunakan dalam pemilihan di Sekolah Makini, yang, tahun lalu, menggantikan pemungutan suara manual dengan Google Forms.
"Saya datang ke Makini School sebagai guru Matematika pada 2014. Sekolah itu kemudian menggunakan sistem manual pemungutan suara dan saya perhatikan itu tidak efisien karena biaya yang tinggi untuk mencetak surat suara. Dan waktu yang sangat lama untuk menghitung suara," ujar Omondi kepada standard.
Omondi membantu transisi sekolah untuk memilih menggunakan Google Form tahun lalu, tapi tidak sepenuhnya efisien karena memungkinkan siswa untuk memilih lebih dari satu kali. Saat itulah dia memutuskan untuk menciptakan sistem pemungutan suara yang unik dan dapat diterapkan pada skala yang berbeda.
"Saya mendesainnya hanya dalam dua minggu awal tahun ini, kemudian menjalankan pilot sebelum dapat digunakan secara resmi. Saya tidak menggunakan banyak, hanya kecerdasan saya," kata Omondi.
Hasilnya adalah Portal Pemilihan Sekolah Makini, sebuah platform pemilihan yang menurut Omondi dapat direplikasi untuk pemilihan di mana saja dan pada skala yang bervariasi, termasuk pemilihan umum negara. Saat ini, sistem bekerja memungkinkan pemilih untuk masuk ke komputer, memasukkan kode khusus yang unik dan memilih kandidat pilihan mereka di yurisdiksi yang berbeda.
Portal secara otomatis menghitung suara, Omondi percaya sistem ini memadai untuk skenario pemilihan nasional. Menurutnya, jika itu akan digunakan untuk pemilihan nasional dia dapat mendaftarkan pemilih menggunakan biometrik.
"Pada hari pemungutan suara, mereka tidak perlu memilih di TPS tempat mereka mendaftar. Yang perlu dilakukan adalah menggunakan biometrik untuk otentikasi, maka sistem akan secara otomatis memunculkan rincian yang relevan dengan pemilih," tutur Omondi.
Pemungutan suara dapat dilakukan pada serangkaian perangkat, mulai dari mesin khusus hingga komputer, tablet, dan bahkan smartphone. Omondi mencatat, pemilih dapat diberikan kode unik khusus yang serupa dengan yang disediakan oleh penyedia layanan seluler.
Seorang pemilih dapat diberikan kartu untuk memasukkan kode satu kali penggunaan, yang memungkinkan mereka untuk memilih. Omondi tidak memiliki pelatihan formal sebelumnya dalam teknologi informasi. Baru sekarang dia terdaftar di Universitas Kenyatta, di mana ia mengejar gelar Sarjana Teknologi Informasi.
Dia bangga menjadi seorang yang otodidak, minatnya pada IT memicu setelah dia menyelesaikan sekolah menengah dan hanya tumbuh sejak itu. Sebagian besar, ia mengandalkan sumber daya internet dalam mempelajari keterampilan teknologinya.
Teknologinya, kata Omondi, lebih baik dari pada sistem pemungutan suara elektronik yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum Independen dan Batas di pemilu terakhir karena dapat bekerja secara efisien menggunakan intranet, menjadikannya berlaku untuk daerah-daerah dengan konektivitas internet yang buruk.
Dia menambahkan bahwa seluruh proses terotomatisasi dan sistem secara otomatis menghitung suara. Hal itu memungkinkan pemilih untuk mengetahui hasilnya dengan segera, menyimpulkan sementara, juga mengurangi tenaga kerja dan biaya.
"Ini dapat menangani lalu lintas yang padat, sehingga berlaku untuk pemungutan suara di seluruh negeri," tambahnya.
Program ini selanjutnya dapat dikodekan untuk secara otomatis meluncurkan dan mematikan pemungutan suara. Lebih lanjut, pemilih dapat melihat jumlah suara sebelum dan sesudah memberikan suara, hanya agar mereka yakin suara mereka telah dihitung.
Omondi mengatakan bahwa ia telah mencoba mengirimkan teknologinya ke badan pengatur independen Kenya (IEBC) secara berulang tapi sejauh ini, upayanya telah mengecewakan. "Saya telah mendekati mereka dengan konsep beberapa kali tapi mereka hanya mengatakan itu adalah ide yang bagus dan diskusi berakhir di sana," kata dia.
Ini adalah perjalanan yang mengecilkan hati, memiliki teknologi yang bisa menyelesaikan masalah pemilihan Kenya tapi tidak mendapatkan perhatian. "Kami memiliki pikiran cemerlang yang dapat menghasilkan solusi luar biasa untuk masalah negara kami. Tidak perlu untuk sumber teknologi ini di luar negeri," ujar Omondi. "Orang-orang muda terdemotivasi oleh kurangnya kesempatan dan kurangnya jalan untuk mengekspresikan ide-ide mereka".
Dengan lebih banyak sumber daya dan kolaborasi dengan IEBC dan pakar TI lainnya, Omondi percaya, sistem ini dapat menghasilkan teknologi pemungutan suara yang efisien, nyaman, aman, dan lebih terjangkau. Serta dapat memecahkan masalah pemilihan sebelumnya seperti orang yang tidak dapat memilih karena mereka jauh dari tempat pemungutan suara.
"Saya percaya IEBC harus mulai mencari solusi untuk pemilihan umum berikutnya sekarang. Mereka harus memberi kaum muda kesempatan untuk membantu merumuskan solusi, mungkin melalui kompetisi. Mereka akan kagum," tutur Omomdi.
Terlepas dari tantangan yang dia hadapi, Omondi tetap tak kenal lelah dalam menyebarkan berita tentang teknologi. Dia berharap bahwa itu akan terwujud menjadi peluang untuk membantu IEBC memudahkan proses pemilihan. Juga berharap akan diberikan kesempatan untuk menggunakan teknologi dalam pemilihan skala kecil, seperti yang diawasi komisi untuk institusi.
STANDARDMEDIA