TEMPO.CO, Bandung - Kemunculan bulan biru (Blue Moon) telah menyita perhatian orang sejak lama. Fenomena gerhana bulan ekstra atau tambahan itu pun dihitung waktu dan periode ulangnya. Sebagian diwarnai salah kaprah pengertian.
Baca: Blue Moon 19 Mei 2019, Apakah Bulan Jadi Biru?
Bulan biru merupakan istilah yang berkembang di negara empat musim, dan bulan tidak benar-benar berwarna biru ketika terjadi. Menurut astronom Tri L. Astraatmadja dalam tulisannya di laman komunitas Langit Selatan, ada dua definisi atau pengertian soal bulan biru.
Pemahaman klasik sejak lama di antaranya dibakukan dalam Almanak Petani Maine di Amerika Serikat. Pada satu dari empat musim akan terjadi empat kali gerhana dalam kurun waktu tiga bulan. Purnama ketiga dari empat purnama itu disebut bulan biru.
Definisi kedua terjadi akibat salah kaprah pengertian namun menjadi populer sejak 1946. Saat itu majalah astronomi terkenal Sky & Telescope, kata Tri, mengartikan bulan biru sebagai dua kali bulan purnama dalam satu bulan kalendar.
“Setelah penerbitan artikel ini, kesalahan tafsir ini semakin populer dan kemudian menjadi definisi kedua bagi bulan biru,” kata Tri dalam tulisannya yang dibuat 2015.
Bulan biru, menurutnya, dapat terjadi karena jumlah hari dalam tahun tropis, 365,24 hari, tidak habis dibagi satu periode siklus bulan yaitu 29,53 hari. Satu periode siklus bulan yang disebut juga periode lunasi itu adalah periode kemunculan bulan purnama.
Bila siklus bulan purnama dikalikan 12 bulan dalam setahun, total 354 hari atau kurang 11 hari dari total 365 hari dalam setahun. Sebelas hari ekstra itu kemudian terakumulasi sehingga tiap dua atau tiga tahun sekali akan terdapat satu bulan purnama tambahan.
Lebih tepat waktu perulangannya setiap 2,71 tahun sekali. Satu bulan purnama ekstra ini akan muncul di salah satu dari empat musim. Dari perhitungan juga muncul Siklus Meton atau tiap 19 tahun sekali akan terjadi Blue Moon pada bulan yang sama.
ANWAR SISWADI