TEMPO.CO, Jakarta - Facebook merilis studi baru yang mengungkapkan bahwa friksi yang sering ditemui konsumen saat berbelanja online berdampak pada pelaku bisnis di Indonesia. Dampak tersebut adalah hilangnya kesempatan meraihpendapatan sebesar US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 278 triliun.
"Kami melihat semua pelaku bisnis belum siap memenuhi ekspektasi konsumen. Akibatnya banyak konsumen yang berhenti di tengah berbagai fase belanjanya, atau yang dimaksud sebagai friksi," ujar Marketing Science Lead Facebook Indonesia Adisti Latief, di Jakarta Selatan, Kamis, 18 Juli 2019.
Studi berjudul Zero Friction Future disusun berdasarkan riset dan survei yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) dan Growth for Knowledge (GfK) di berbagai sektor industri di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Studi dilakukan dari September hingga Oktober 2018 yang diikuti oleh 1.600 konsumen Indonesia, meliputi pengguna smartphone dengan kisaran umur 18-54 tahun, yang pernah melakukan transasksi digital.
Friksi merupakan sebuah hambatan yang menyebabkan konsumen meninggalkan fase belanjanya dan membuat bisnis kehilangan pendapatannya. Studi mengungkap bahwa 94 persen konsumen di Indonesia menemukan friksi di setiap fase belanja online, dan 54 persen di antaranya tidak menyelesaikan pembelian karena friksi.
"Untuk beberapa industri kunci berbasis digital seperti travel dan e-commerce, studi menunjukkan mereka dapat meningkatkan pendapatan tahunan sebesar US$ 9,12 miliar untuk industri travel dan US$ 4,38 miliar untuk industri e-commerce jika friksi dapat dihilangkan," tutur Adisti. "Inilah alasan mengapa kami meluncurkan studi ini."
Friksi yang paling sering muncul adalah iklan yang tidak relevan, 61 persen konsumen jasa keuangan membatalkan transaksi ketika menemukan penawaran yang tidak sesuai. Sementara 61 persen konsumen ritel membatalkan transaksi ketika mendapatkan produk yang tidak sesuai keinginan mereka.
Selain itu, kurangnya informasi mengenai produk jadi salah satu faktor penyebab pembatalan transaksi, 55 persen konsumen ritel batal belanja karena kurangnya ulasan mengenai produk atau toko yang dituju. Terkait belanja online, 60 persen konsumen ritel berharap adanya konsistensi antara iklan dan harga asli produk, dan 66 persen konsumen dari jasa keuangan batal belanja karena panjangnya proses pendaftaran.
Menurut Haikal Siregar, Managing Director and Partner Boston Consulting Group, alur perjalanan konsumen saat ini sangat rumit. "Perangkat mobile memiliki peran penting pada setiap fase berbelanja yang dilakukan konsumen. Ditambah lagi tadi disebutkan terdapat 55 persen orang Indonesia menggunakan internet dan 8 jam per hari menggunakannya," kata Haikal.
Sementara, 66 persen konsumen dari jasa keuangan berpotensi membatalkan transaksi karena tidak mendapatkan aplikasi konfirmasi dari pendaftaran yang dilakukan. Setelah belanja, friksi menghambat konsumen untuk tetap menjadi pelanggan setia. Selanjutnya, 63 persen konsumen jasa travel dan 65 persen konsumen e-commerce membatalkan transaksi karena kesulitan berhubungan dengan Customer Support.
Facebook berharap hasil studi ini dapat membantu pelaku bisnis di Indonesia untuk sukses dengan memahami dampak keseluruhan dari friksi dan cara untuk menanggulanginya.
"Studi ini untuk memetakan, memahami dan mengantisipasi friksi-friksi yang ada di proses belanja konsumen," ujar Haikal. "Dan bagaimana bisnis dapat mengeliminasi friksi dengan strategi marketing mobile dengan pengalaman belanja lebih mudah sehingga dapat memenangkan hati konsumen dan meningkatkan penjualan."