TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Vulkanologi dan Miitgasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kasbani mengatakan, Gunung Tangkubanparahu yang memiliki ketinggian 2.284 meter di atas permukaan laut meletus sekitar pukul 15.48 WIB menghasilkan kolom abu dengan ketinggian berkisar 200 meter dari puncak.
“Sekarang sudah mereda,” kata dia lewat pesan tertulisnya pada Tempo, Jumat, 26 Juli 2019.
Letusan Gunung Tangkuban Parahu menghasilkan kolom abu dengan intensitas tebal condong ke arah timur laut dan selatan. Erupsi terekam di peralatan seismogram dengan amplitudo maksimum 38 milimeter dan durasi 5 menit 30 detik.
Kasbani mengatakan, jenis letusan yang terjadi berupa letusan freatik. PVMBG masih menetapkan status aktivitas Gunung Tangkubanparahu berada di status Normal atau Level 1. Kendati dalam status Normal, PVMBG sudah memperingatkan, letusan jenis freatik menjadi salah satu yang harus diwaspadai. “Letusan freatik bersifat tiba-tiba dan tanpa didahului gejal-gejala vulkanis yang jelas,” kata dia.
Dalam status Normal tersebut, PVMBG juga merekomendasikan agar status pengunjung tidak boleh turun mendekati Kawah Ratu dan Kawah Upas, di Gunung Tangkubanparahu. Pengunjung juga dilarang menginap dalam kawasan kawah aktif dalam kompleks gunung tersebut.
Ahli gunung api PVMBG, Gede Suantika mengatakan, jenis letusan freatik terjadi akibat akumulasi gas. “Freatik artinya letusan masih disebabkan oleh akumulasi gas-gas yang berasal dari uap air. Sumber letusannya dangkal,” kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat, 26 Juli 2019.Gede yang saat ini menduduki posisi Kepala Bagian Tata Usaha, PVMBG, mengatakan, letusan freatik relatif biasa terjadi di Gunung Tangkuban Parahu. Biasanya terjadi saat musim kemarau. “Statistiknya begitu, selalu di musim kemarau,” kata dia.
Gede mengatakan, sistem kantong tekanan di Gunung Tangkubanparahu relatif dangkal. “Sistem kantong tekanannya itu dangkal. Berkaitan dengan sistem hidrologi yang dangkal di bawah kawah. Tiba-tiba kemarau ini suplai air melemah, pemanasan jadi berlebih,” kata dia.
Komponen air suplainya mengecil di musim kemarau. Sementara panas yang dihasilkan magma Gunung Tangkubanparahu konstan. “Ini jadi lebih panas. Lebih cepat membentuk tekanan yang dangkal tadi,” kata Gede.
Letusan freatik di Tangbkubanparahu misalnya tercatat terjadi pada 2013 lalu. “Dulu terakhir begini juga tahun 2013. Letusannya freatik, semingguan hanya kepulan-kepulan gas di Kawah Ratu,” kata Gede.
Gede mengatakan, letusan freatifk sifatnya cepat. Kendati demikian, tanda letusan gunung itu diklaimnya sudah terpantau sejak 27 Juni 2019 lalu. “Tanda-tanda letusan kita pantau sejak tanggal 127 Juni. Peningkatannya sudah ada. Kita juga baru sosialisasi seminggu lalu,” kata dia.
Kendati tanda-tanda letusan sudah terpantau, Gede mengaku, sulit memperkirakan waktu terjadinya letusan. Tanda yang terpantau diantaranya jumlah gempa hembusan yang mendadak melonjak hingga ratusan dalam seharinya, serta peralatan pemantau deformasi tubuh gunung mendapati jarak antar bibir kawah melebar kendati dalam hitungan milimeter.
“Gempa hembusannya ratusan. Deformasinya juga semakin menjauh, kita mengukur dengan menaru alat di kedua bibir kawah, jaraknya makin lama makin membesar. Kita ukur di antara bibir dengan bibir itu meningkat terus seminggu terakhir,” kata Gede.
Gede mengatakan, yang sulit mengantisipasi letusan freatik tersebut menentukan detik-detik letusannya karena peristiwanya cepat. “Sulit menentukan detik-detik letusannya. Kemudian jarak radius impaknya juga kecil, hanya radius setengah kilometer dari kawah. Jadi lebih sulit memonitor letusan kecil begitu,” kata dia.