TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Seismologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Andri Dian Nugraha menilai alat pemantau gempa untuk menunjang mitigasi bencana di Indonesia masih terbilang minim.
"Idealnya mungkin kita melihat kepada Jepang yang sudah maju, itu tiap grid atau tiap jarak stasiun (pengamatan)-nya itu sekitar 15 kilometer," kata Andri usai acara diskusi kebencanaan di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Bandung, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Sedangkan di Indonesia, menurutnya, jarak antara pos-pos monitoring mencapai sekitar 100 kilometer.
Menurutnya, untuk memantau kegempaan di wilayah Indonesia yang sangat luas serta memilki aktivitas tektonik dan geologi sangat tinggi, alat-alat monitoring tersebut perlu ditambah.
Dia mengatakan dengan banyaknya alat monitor yang dimiliki akan sangat berpengaruh terhadap antisipasi bencana.
Peta zona gempa megathrust. (Pusat Studi Gempa)
Deteksi gempa, kata dia, akan lebih baik dan penentuan lokasi gempa akan lebih akurat.
"Kemudian peringatan dini tsunami juga jadi lebih baik," kata dia.
Pakar Geologi dan Gempa Bumi, Astyka Pamumpuni mengatakan gempa bumi merupakan fenomena alam yang tidak bisa dicegah. Maka perlu mempersiapkan resiko yang akan terjadi.
"Paling tidak, harus ada komunikasi sains kepada masyarakat, tetapi kita juga berupaya agar tidak menyebarkan ketakutan ke masyarakat," katanya.
Berita lain terkait mitigasi bencana dan gempa, bisa Anda simak di Tempo.co.