TEMPO.CO, Tangerang - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mengembangkan penelitian sifat-sifat logam tambang dengan menonjolkan keunggulan kandungannya untuk menambah nilai jual. Melalui Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM), LIPI mengembangkan material baja untuk industri listrik dan riset baja unggul nasional berbasis bijih laterit.
"Kami melakukan pengembangan produk implan (pen dan tempurung lutut) yang sesuai dengan bentuk tubuh orang Indonesia, serta pembuatan ultra fine grain magnesium karbonat dari material dolomit," ujar Kepala P2MM LIPI Nurul Taufiqu Rochman, di Puspitek, Serpong, Tangerang, Selasa, 13 Agustus 2019.
Nurul menambahkan bahwa, baja memiliki peran dalam pembangunan proyek infrastruktur dan menopang kegiatan sektor industri lainnya. Ekspor baja Indonesia sebagai bahan mentah semakin meningkat, sementara industri baja dalam negeri harus impor untuk mendapatkan barang jadi dengan harga yang lebih tinggi.
LIPI mengembangkan material yang digunakan untuk industri listrik yaitu baja tahan karat (stainless steel) 410 modifikasi yang dikembangkan untuk mensubstitusi impor baja dan komponen sudut turbin PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) atau panas bumi. "Dengan meningkatkan ketahanan korosinya, jangka waktu pemakaian sudut turbin menjadi lebih lama," kata Nurul.
Penelitian material yang lain adalah kawat superkonduktor yang dapat digunakan sebagai pengganti kawat trafo dan kabel listrik tegangan tinggi. "Penggunaan superkonduktor dapat menghilangkan hambatan penghantar listrik dan meningkatkan efisiensi trafo dan kabel listrik tegangan tinggi," tutur Nurul.
Selain itu, grup riset baja unggul nasional melakukan pengembangan dan pemanfaatan baja laterit untuk menjawab tantangan pembangunan sistem konstruksi dan transportasi. Baja laterit tersebut dapat digunakan di lingkungan darat dan pesisir, yang menuntut adanya peningkatan sifat ketahanan ketangguhan, kekuatan menahan beban, dan ketahanan korosi.
"Kami melakukan proses modifikasi sifat-sifat paduan baja dengan menonjolkan keunggulan nikel karena bahan baku bijih laterit dengan kandungan Ni cukup tinggi, dan berlimpah di Indonesia," ujar Nurul.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS), guna pemenuhan kebutuhan baja di dalam negeri, impor baja nasional dalam kurun waktu 2 tahun berturut-turut menduduki peringkat tertinggi dan memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan. Sampai semester I 2019, jumlah impor baja mencapai 7,6 juta ton.
Sementara pengembangan pemanfaatan logam titanium di dunia kesehatan, bisa digunakan untuk produk implan berupa pen dan tempurung lutut yang sesuai dengan bentuk tubuh orang Indonesia. Titanium memiliki kekuatan seperti baja, tapi lebih tahan korosi dan lebih ringan.
Berita lain terkait LIPI dan impor baja, bisa Anda simak di Tempo.co.