TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menanggapi penelitian tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tentang tanaman langka Bajakah yang bisa dijadikan obat kanker. Penelitian itu juga mampu mengharumkan nama Indonesia di ajang kompetisi Life Science di Seoul, Korea Selatan pada 25 Juli 2019.
Peneliti di Laboratorium Kimia Bahan Alam Pusat Penelitian Biologi LIPI Ahmad Fathoni mengatakan dirinya bangga atas prestasi anak bangsa yang mengharumkan negara.
"Meskipun terdapat informasi awal tumbuhan Bajakah mampu menyembuhkan tumor/kanker, yang diduga karena kandungan senyawa aktif antioksidan yang berlimpah, sehingga mampu menjadi penawar radikal bebas," kata Fathoni kepada Tempo melalui pesan pendek, Rabu, 14 Agustus 2019.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran (tengah) didampingi Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin (kiri) berfoto bersama tiga pelajar SMAN-2 Palangka Raya yang menemukan obat kanker dari tanaman di provinsi setempat, usai melakukan audiensi mengenai temuan tersebut di Istana Isen Mulang, Selasa (13/8/19). (FOTO ANTARA/Adi Wibowo)
Penelitian siswa tersebut menggunakan dua ekor mencit atau tikus kecil berwarna putih (mus cumulus). Cairan kayu Bajakah mampu menyelamatkan tikus yang sebelumnya telah diinduksi zat pertumbuhan sel tumor atau kanker. Sel kanker berkembang di tubuh tikus dengan ciri banyaknya benjolan pada tubuh, mulai dari ekor hingga bagian kepala.
Namun, Fathoni melanjutkan, diperlukan identifikasi lebih lanjut terkait nama ilmiah untuk keberlangsungan tetap terjaga dan diperlukan isolasi senyawa aktifnya agar lebih efektif digunakan sebagai obat antikanker.
"Kita juga bangga dan bersyukur bahwa bangsa kita kaya akan sumber daya hayati yang bermanfaat, dan telah digunakan warga lokal sebagai obat tradisional turun-temurun," kata Fathoni. "Suatu bahan obat yang dapat digunakan untuk manusia harus memenuhi aspek aman, berkhasiat dan berkualitas yang harus terjaga dan terstandar."
Menurut Fathoni, untuk pengobatan kanker atau tumor perlu dilakukan praklinis (melalui serangkaian uji hewan percobaan) hingga uji klinis (pengujian ke manusia) terkait aspek keamanan dan khasiat, sehingga grade obat tradisional (jamu) meningkat menjadi bentuk sediaan obat herbal terstandar maupun sediaan fitofarmaka.
Pengujian praklinis, Fathoni berujar, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji, yaitu langkah awal sebelum pengujian pada manusia sebelum digunakan sebagai obat herbal terstandar.
"Sedangkan uji klinis dilakukan melalui lima tahapan atau fase sebelum dapat digunakan secara luas sebagai sediaan obat berupa fitofarmaka. Selain itu tak kalah pentingnya, jangan sampai karena khasiatnya yang luar biasa kemudian tumbuhan Bajakah dieksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan konservasinya," tutur Fathoni.
Oleh karena itu, Fathoni menambahkan, selain diperlukan studi lebih lanjut tumbuhan Bajakah sebagai obat kanker agar aman, terjaga khasiat, dan berkualitas tinggi juga diperlukan upaya bersama untuk tetap menjaga kelestariannya.