TEMPO.CO, Jakarta - Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi memiliki pandangan yang berbeda mengenai bukti adanya Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Agus, Kerajaan Sriwijaya memiliki banyak sumber yang sudah dipublikasikan, salah satunya buku karya O.W. Wolters. "Selain itu, ada prasasti sebagai bukti sejarah adanya Kerajaan Sriwijaya, ada juga arca dan sisa barang kuno," ujar Agus, di Museum Nasioal, Jakarta Pusat, Kamis, 29 Agustus 2019.
Pembahasan mengenai Kerajaan Sriwijaya ramai dibicarakan setelah Ridwan Saidi atau yang akrab disapa Babe Ridwan menyatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya fiktif. "Sriwijaya itu fiktif, hanya gabungan bajak laut," kata Babe Ridwan dalam video yang diedarkan dalam akun YouTube benama Macan Ideologis.
Pernyataan tersebut ada dalam dua video, pertama berdurasi 15 menit diunggah pada 23 Agustus 2019, sedangkan video kedua berdurasi 20 menit diunggah pada 24 Agustus 2019.
"Kalau baca buku Purbocaroko tahun 1952, Babe itu menyalahkan Purbocaroko, terutama Tarumanegara juga dia salahkan. Kalau begitukan ada tendensi yang enggak kita tahu," ujar Agus. "Tendensinya itu apa, soalnya ada kecenderungan yang sama dengan ada yang bilang bahwa Candi Borobudur milik Nabi Sulaiman gitu. Jadi ada tendensi yang kita tidak tahu."
Namun, pernyataan Agus berbeda dengan pendapat Babe Ridwan tentang bukti-bukti yang sudah diteliti. Ketika berbicara masalah bukti, Babe Ridwan justru menanyakan kembali bukti yang mana.
Misalnya, kata Babe Ridwan, Candi Muara Takus ada yang bilang Sriwijaya, itu minaretnya (menaranya) persis seperti yang ada di Mesopotamia. Kemudian Bukit Siguntang itu adalah situs Kerajaan Palembang, karena ada masjid kaum Saman abad ke-10.
"Jadi jangan asal saja, begini sih arkeolog pergi ke pangkalan material, batu bertumpuk dia bilang candi," tutur Babe Ridwan kepada Tempo melalui telepon, Kamis, 29 Agustus 2019. "Kalau arca-arca yang dia bilang arca budha itu arca Siddhartha Gautama itu orang Samarkand, karena orang Samarkand mengklaim bahwa Siddhartha Gautama adalah orang Samarkand."
Jadi, Babe Ridwan berujar, mereka (arkeolog) harus menunjukkan bukti-bukti atau data-data yang valid. "Menurut saya data mereka tidak valid, kok sekarang dibalik saya musti buktikan bahwa itu tidak ada. Jangan dibalik dong," kata Babe Ridwan.
Babe Ridwan menyatakan bahwa arkeolog tidak mengerti bahasa-bahasa kuno. Itulah, kata dia, yang menyebabkan sejarah Indonesia fatal dan perlu direkonstruksi.
"Prasasti yang mendukung keberadaan Sriwijaya yang selama ini mereka gunakan, prasasti yang ditemukan 1918, itu ada arkeolog Prancis yang menebak-nebak itu Bahasa Sansekerta," katanya. "Bahasa yang dipakai prasasti yang ditemukan itu adalah Bahasa Armenia, bukan Sansekerta. Sehingga, terjemahannya jadi keliru berat, itu bukan tentang keberadaan Sriwijaya."